sarah gilbert ilmuwan penemu vaksin astrazeneca

Mengenal Sarah Gilbert, Ilmuwan Penemu Vaksin AstraZeneca Yang Melepaskan Hak Patennya

Sarah Gilbert siang itu duduk di deretan depan - di barisan VIP yang biasa diperuntukkan bagi anggota Kerajaan Inggris – menonton pertandingan tenis di Stadion Wimbledon, Inggris. Ia mendapat undangan kehormatan bersama beberapa “individu inspiratif” lain.

Sebagai bentuk ucapan terima kasih, All England Club menyediakan 100 tiket harian untuk berbagai kelompok mulai dari NHS hingga Transport For London, untuk layanan yang mereka berikan selama pandemi.

Pertandingan itu dihadiri sekitar 7.500 penonton, tanpa pembatasan jarak dan tidak menggunakan masker. Untuk menyaksikan pertandingan pembukaan antara juara bertahan Novak Djokovic dan Jack Draper ini, penonton harus menunjukkan bukti, baik vaksin dua dosis atau tes negatif COVID-19.

Menjelang pertandingan dimulai seorang penyiar mengatakan di antara tamu hadir orang yang memimpin pengembangan vaksin anti-COVID, yang memungkinkan pertandingan ini digelar.

Penyiar itu tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena riuh sorakan tepuk tangan mulai memenuhi stadion. Sarah yang saat itu mengenakan jaket merah dengan atasan putih, tampak sedikit tergerak saat para penonton mulai berdiri. Ia mendapatkan standing ovation, baik oleh penonton biasa atau penonton VIP lain.

Memberikan hak patennya

Profesor Sarah Catherine Gilbert adalah salah satu ilmuwan yang bertanggungjawab pada pengambangan vaksin COVID-19 Oxford- AstraZeneca. Ia merupakan ahli vaksinologi dari Jenner Institute & Nuffield Department of Clinical Medicine, University of Oxford.

Ia telah lama berkecimpung dalam pengembangan vaksin, seperti malaria dan influenza. Sebelum pandemi, wanita kelahiran April 1962 di Northamptonshire, Inggris ini tengah mengembangkan vaksin ebola – penyakit mematikan yang hingga saat ini juga belum ada obatnya.  

Mengutip She The People, Sarah menceritakan ia bekerja siang malam sejak awal pandemi COVID-19 menggarap vaksin. "Sejak awal, kami melihatnya sebagai kompetisi melawan virus, bukan melawan pengembang vaksin lain. Kami adalah universitas dan kami tidak melakukan ini untuk menghasilkan uang," katanya.

Dalam pengembangan vaksin corona, ia mengaku pada awalnya mengetahui bahwa ada empat orang yang menderita pneumonia karena virus baru di China pada malam tahun baru 2020. Tak lama kemudian ia langsung mengembangkan vaksin setelah menerima susunan patogen virus baru tersebut, yang dikenal sebagai SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Pada 30 Desember 2020, vaksin Oxford- AstraZeneca yang ia kembangkan mendapat persetujuan untuk digunakan di Inggris. Kini, dengan persetujuan darurat WHO, AstraZeneca menjadi salah satu vaksin yang paling banyak digunakan di dunia.

Di tengah kebutuhan dunia akan vaksin, Sarah justru melepaskan hak paten atas vaksin AstraZeneca, agar vaksin ini bisa diproduksi dengan harga murah. "Saya tidak ingin mengambil hak paten penuh, agar kita bisa berbagi intelektual. Siapapun bisa membuat vaksin mereka sendiri demi mengatasi pandemi ini," tuturnya mengutip Reuters.

Dengan aksi tidak mementingkan diri sendiri tersebut, tahun ini Sarah mendapatkan gelar kebangsawanan Dame Commander of the Most Excellent Order of the British Empire (DBE) dari Kerajaan Inggris, atas jasanya pada ilmu pengetahuan dan kesehatan masyarakat.

Sarah memiliki 3 anak kembar yang mengikuti jejak sang ibu dengan belajar biokimia. Mereka juga merupakan sukarelawan awal pada uji klinis vaksin Oxford-AstraZeneca. (jie)