Perjuangan drg Rio Atasi Psoriatic Arthritis, Dari Tidak Bisa Jalan Sampai Ingin Bunuh Diri | OTC Digest
drg rio suwandi psoriatic arthritis

Perjuangan drg Rio Atasi Psoriatic Arthritis, Dari Tidak Bisa Jalan Sampai Ingin Bunuh Diri

“Depresi sampai ingin bunuh diri? Sering. Sudah pernah iris nadi dua kali.”

Kalimat itu terlontar dari mulut seorang dokter gigi; drg. Rio Suwandi (34 tahun). Sebagai seorang yang berprofesi sebagai penyembuh, ternyata tak gampang bagi drg. Rio untuk bisa bersahabat dengan penyakitnya.

Pria bertubuh tambun ini harus ‘bergelut’ dengan penyakit psoriasis, yang telah berkembang menjadi psoriatic arthritis (PsA).

Psoriatic arthritis merupakan penyakit autoimun, di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel dan jaringan yang sehat. Respons imun yang abnormal tersebut menyebabkan peradangan pada persendian serta kelebihan sel-sel kulit.

Awalnya, ungkap drg. Rio, dimulai dengan muncul ‘sisik’ seperti ketombe di kepala. Saat itu tahun 2002, setelah melakukan serangkaian pemeriksaan ia terdiagnosis menderita psoriasis.

“Kemudian kulit kepala mulai merah-merah. Di waktu bersamaan saya kena virus cacar air, itu yang memicu psoriasis menjadi parah, keluar satu badan,” terangnya dalam acara Inovasi Alternatif Pengobatan Baru Untuk Ankylosing Spondylitis (AS) dan Psoriatic Arthritis (PsA), Kamis (21/3/ 2019) lalu.

Reaksi pertama setelah dinyatakan menderita psoriasis adalah marah. “Kenapa saya. Bukan kakak, adik atau sepupu saya,” pikirnya saat itu. Dalam riwayat keluarga drg.Rio tidak ada yang mengalami psoriasis, apalagi psoriatic arthritis.

Psoriasis yang diderita drg. Rio ditengarai sebagai mutasi genetik; ia membawa gen HLA-B27. Namun tidak semua mereka dengan HLA-B27 positif akan menderita psoriasis. Infeksi virus (dalam hal ini cacar air) memicu HLA-B27 menjadi psoriasis.

Saat itu ia masih berusia 17 tahun, lulus SMA. “Usia segitu emosi masih meledak-ledak, sempat tidak mau kuliah. Setelah kuliah kondisi saya sempat parah, beberapa dosen saya bilang : Rio kamu tidak boleh pegang pasien, kalau tanganmu ‘hancur’ seperti itu terus masuk ke mulut pasien bagaimana, coba pikir?”

Sementera beberapa dokter lain justru memihaknya. “Kan dia pakai sarung tangan, dan psoriasis bukan penyakit menular,“ ujar salah satu dokter. Hal-hal seperti itu membuat mental drg. Rio anjlok. “Jadi penderita psoriasis itu tidak hanya sakit fisiknya, tapi juga mental,” katanya.  

Setelah 5 tahun berjalan posriasis yang dideritanya bertambah buruk. Mulai merasakan kesulitan berjalan (pincang), nyeri sendi kaki dan jari telunjuk kanan bengkak.

Sempat berpikir asam urat atau kolesterol, tetapi tidak kunjung sembuh walau sudah minum obat. Ternyata psoriasis yang awalnya hanya menyerang kulit berkembang ke sendi ; psoriatic arthritis.  

“Bangun pagi rasanya badan malah lemas dan kaku. Kalau nyerinya datang saya sampai tidak bisa jalan. Rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum dan kaki diikat. Harus minum painkiller (antinyeri) dulu baru bisa jalan.

Kondisinya itu mau tak mau berpengaruh dalam pekerjaan, ”Karena saya bekerja dengan tangan kanan, sementara radang sendinya di telunjuk kanan, punggung dan kaki kanan. Dulu sebelum memakai obat baru (obat agen biologik) bahkan untuk jalan itu harus menyeret kaki, sakit sekali.

Ia teringat, dulu tiap kali serangan nyeri datang – bahkan sampai membuatnya tidak mampu bergerak - drg. Rio mengandalkan obat antinyeri. Jika tangan tremor, “Oh ini pasti radang. Minum antiradang sebanyak-banyaknya. Saya panik.”

“Saat depresi sering ada pikiran bunuh diri. Sudah dua kali sempat mengiris nadi. Tapi begonya tiap kali mau bunuh diri selalu di depan papa mama saya. Orangtua saya kumpulin, terus saya pamit,” kenang drg. Rio.

Berkat dukungan keluarga, drg. Rio dapat melalui hari-harinya sebagai penderita psoriatic arthritis. Setelah melewati fase marah, ‘tawar menawar’ dengan Tuhan (kalau lebih rajin ibadah mungkin akan sembuh), fase panik, akhirnya ia sampai ke fase ‘bersahabat’ dengan penyakit.

“Mama saya bilang: Kalau kamu tidak mau mengasihi dirimu sendiri siapa lagi? Mama papa cuma bisa support. Kini, setelah ada saya memakai obat agen biologik rasa nyerinya jauh terkontrol hingga 80%. Misalnya untuk jalan santai masih oke, tetapi saat harus jalan cepat barulah nyerinya muncul,” tutup drg. Rio.  (jie)