Risiko Endometriosis akibat Polusi Udara
endometriosis_polusi

Risiko Endometriosis akibat Polusi Udara

Di balik segala kenyamanan hidup di kota besar, tersimpan risiko endometriosis akibat polusi udara. Endometriosis bukan penyakit sepele. Bila didiamkan, bisa mengganggu kesuburan perempuan. Gawatnya lagi, 1 dari 10 perempuan kemungkinan besar terkena endometriosis.

“Penelitian menunjukkan, endometriosis adalah penyakit urban, akibat polusi bahan bakar fosil,” ungkap Dr.dr. Kanadi Sumapraja, Sp.OG-KFER, M.Sc. Dokter spesialis kandungan dan kebidanan di RS Pondok Indah – Pondok Indah ini menjelaskan, hasil sisa pembakaran fosil melepaskan polutan yang disebut dioksin. Dioksin adalah sekelompok polutan udara yang kerap menimbulkan ancaman kesehatan pada area perkotaan. Selain dari knalpot kendaraan bermotor, dioksin juga bisa berasal antara lain dari pembakaran sampah, pemanasan logam, industri kimia, proses pemutihan kertas/tekstil, asap rokok, hingga makanan.

Dioksin termasuk salah satu polutan yang jadi biang keladi endometriosis. “Struktur kimia dioksin sangat mirip dengan hormon perempuan. Akibatnya saat perempuan menghirupnya, maka ia seperti mendapatkan estrogen ekstra. Jadi tidak heran, banyak perempuan di perkotaan yang terkena endometriosis,” papar Dr. dr. Kanadi dalam diskusi Mengenal Gangguan Mestruasi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Seperti telah dijelaskan dalam artikel ini , endometriosis sangat bergantung pada estrogen. Endometriosis yang sudah ada, akan terus berkembang mengikuti siklus haid, saat kadar estrogen naik secara alami. Ditengarai, perempuan dengan endometriosis memiliki kondisi yang disebut estrogen dominance. Yakni kadar estrogen dalam tubuh mereka lebih tinggi dibandingkan perempuan lain. Estrogen yang berlebihan ini diyakini merangsang pertumbuhan lesi endometriosis di dalam tubuh. Akhirnya, terjadilah peningkatan risiko endometriosis akibat polusi udara.

 

Risiko endometriosis akibat polusi udara, segera obati sebelum terlambat

Gejala endometriosis yang paling kentara yakni nyeri hebat saat menstruasi. Karenanya, jangan mengganggap enteng nyeri haid, terlebih bila nyeri selalu muncul saat menstruasi. “Endometriosis adalah penyakit kronik progresif. Bila didiamkan, penyakit akan terus berkembang,” ujar Dr. dr. Kanadi. Perempuan yang hidup di perkotaan perlu lebih waspada, mengingat risiko endometriosis akibat polusi udara meningkat.

Tak hanya menyebabkan nyeri haid, ensometriosis juga menyebabkan peradangan di rongga perut dan rongga rahim. Inilah yang bisa membuat perlengketan organ-organ reproduksi, sehingga perempuan akan sulit hamil. Bisa pula tumbuh kista coklat di indung telur, atau tumor adenomiosis di dinding rahim.

Bila endometriosis cepat ditemukan dan segera dilakukan intervensi, progresivitas penyakit bisa dicegah. Sayangnya, banyak yang datang terlambat. “Banyak pasangan yang tidak bisa punya anak gara-gara endometriosis sudah sangat berat. Sudah terjadi perlengketan hebat,” sesal Dr. dr. Kanadi.

Adenomiosis bukanlah tumor biasa. Tidak seperti miom yang memiliki batas jelas dengan jaringan sehat sekitarnya, adenomiosis seperti berakar. Batas dengan jaringan sekitarnya tidak jelas, “Sehingga tidak akan bisa diangkat sampai bersih.”

Mengatasi kista coklat pun sulitnya bukan main. Kista yang sudah diangkat melalui operasi, akan tumbuh kembali dengan cepat. “Selama hormon estrogen aktif, kista akan terus tumbuh. Sehingga penderita endometriosis bisa berkali-kali dioperasi,” jelas Dr. dr. Kanadi.

 

Pendekatan terbaru mengatasi endometriosis

Pengobatan endometriosis memang pelik. Terlebih pada perempuan yang mengeluhkan nyeri, sekaligus ingin punya anak. “Jadi dilematis karena endometriosis berkaitan dengan estrogen. Jalan untuk mengatasi nyeri, dan mengatasi kesuburan arahnya berlawanan,” papar Dr. dr. Kanadi.

Untuk mengatasi nyeri, hormon estrogen harus ditekan. Sedangkan bila estrogen ditekan, kesuburan akan hilang, padahal perempuan tersebut ingin punya anak. “Makanya, tidak muda menangani endometriosis. Kadang, pasien endometriosis harus menjalani program bayi tabung untuk punya anak,” imbuhnya.

Seorang ahli laparoskopi dari Perancis memperkenalkan pendekatan baru untuk pengobatan endometriosis pada 2017. “Menurutnya, tindakan pembedahan bagi penderita endometriosis sebaiknya minimal. Kalau bisa cukup sekali, jangan berulang-ulang,” ujar Dr. dr. Kanadi. Disarankannya, operasi pada penderita endometriosis dilakukan hanya dengan dua indikasi: untuk membantu program memiliki anak, dan saat tidak mau lagi mempertahankan indung telur/rahim karena tidak tahan dengan nyeri haid. Indikasi kedua bisa dipilih jika obat-obatan tidak lagi mampu mengatasi nyeri haid akibat endometriosis, sehingga indung telur sebagai penghasil estrogen, harus diangkat.

Ada anggapan, kehamilan bisa menghilangkan nyeri haid. Ini sebenarnya cukup masuk akal karena selama hamil, kadar estrogen menurun. “Namun tidak menyembuhkan; kehamilan hanya menenangkan endometriosis sementara,” tegas Dr. dr. Kanadi. Begitu kehamilan usai dan estrogen kembali aktif, endometriosis pun kembali lagi. Dan tidak jarang, perempuan justru sulit hamil akibat endometriosis yang dideritanya.

Salah satu strategi menangani endometriosis adalah dengan menciptakan kehamilan palsu, dengan obat hormonal. “Saat ini di Eropa, para ahli mulai beralih mengutamakan terapi hormon, ketimbang pembedahan,” ujar Dr. dr. Kanadi.

Strategi ini utamanya untuk endometriosis yang masih dalam tahap dini. Efektif untuk mencegah perkembangan penyakit, sekaligus mengurangi berbagai risiko komplikasi yang muncul akibat endometriosis. Namun untuk endometriosis yang sudah lanjut, pengobatannya akan lebih kompleks. Banyak hal yang akan jadi pertimbangan. Di antaranya kondisi endometriosis, serta tujuan yang ingin dicapai oleh penderitanya. (nid)

___________________________________________

Ilustrasi: Background photo created by freepic.diller - www.freepik.com