Penanganan Kanker Payudara Perlu Kebijakan Nasional
kanker-payudara_SEABCS

Penanganan Kanker Payudara Perlu Kebijakan Nasional

Kanker payudara stadium lanjut masih menjadi momok di berbagai belahan dunia, khususnya di negara-negara berkembang, seperti kawasan ASEAN. Menurut Perhimpuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PERABOI), dari tiap 10.000 kasus kanker payudara, sekitar 70% di antaranya adalah stadium lanjut (3 dan 4). Kondisi ini tidak banyak berubah dalam 35 tahun terakhir. Penanganan kanker payudara memang butuh upaya serius dari semua pihak.

Salah satu yang krusial, tentu saja kebijakan nasional. Mulai dari pencegahan, deteksi dini, hingga tatalaksana yang baik dan berkelanjutan. Hal yang, sayangnya, belum dimiliki negara kita.

Secara umum, masalah terkait kanker payudara sebenarnya hampir sama di kawasan ASEAN. “Misalnya pemahaman tentang penyakit kanker yang minim, kesadaran deteksi dini yang rendah, menunda terapi, akses ke fasilitas kesehatan yang terbatas, hingga kebijakan pemerintah yang masih harus terus ditingkatkan dalam penanganan pasien kanker,” tutur Linda Agum Gumelar, S.IP, Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), dalam keterangan yang diterima OTC Digest.

Penanganan Kanker Payudara: Apa yang Diperlukan?

Persoalan yang dihadapi negara-negara ASEAN mungkin sama, tapi upaya penyelesaiannya bisa berbeda. “Kita banyak belajar dari berbagai komunitas di negara lain. Di Philipina misalnya, komunitas kanker payudara di sana berhasil memasukkan persetujuan dari parlemen bahwa pelayanan kanker payudara menjadi prioritas pemerintah,” lanjut Linda.

Sebaliknya, negara lain pun banyak belajar dari Indonesia. Mereka misalnya, belajar dari YKPI untuk memanfaatkan organisasi perempuan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yaitu, seperti BKOW (Badan Kerjasama Organisasi Wanita) di tingkat provinsi, dan GOW (Gabungan Organisasi Wanita) di tingkat kabupaten/kota. Melalui organisasi-organisasi tersebut, YKPI melakukan sosialisasi/edukasi mengenai pentingnya skrining dan deteksi dini kanker payudara. Selain itu, mobil mamografi milik YKPI yang merupakan pertama di ASEAN, kini banyak diikuti negara lain.

Deteksi dini kanker payudara dimulai dari diri sendiri, yakni rutin melakukan SADARI setiap hari, atau ke Puskesmas untuk melakukan SADANIS (periksa payudara secara klinis) secara berkala. “Bila ada benjolan, bisa diperiksa lebih lanjut dengan USG atau mamografi,” terang dr. Kardinah Sp.Rad(K), Ketua Indonesian Women Imaging Society (IWIS).

USG payudara dan mamografi bisa dilakukan di Puskesmas tertentu, atau fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Di beberapa RS, juga telah tersedia 3D USG atau automated breast USG, yang bisa memberi gambaran lebih detil. Adapun mamografi, telah berkembang dari 2D menjadi 3D (digital breast tomosynthesis). Di RS besar, juga tersedia fasilitas diagnostic yang lebih canggih seperti MRI dan PET scan, “Tapi ini hanya untuk kasus-kasus khusus, bukan untuk deteksi dini.”

Dr. Kardinah melanjutkan, sarana deteksi dini untuk kanker payudara sudah ada. Program deteksi dini pun telah dibuat sejak 2008, dan sistem rujukan telah diperkuat. “Tinggal pasiennya, mau melakukan (pemeriksaan) atau tidak. Jangan berpikir bahwa benjolan di sekitar payudara itu cuma karena pengaruh hormonal, sehingga tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujarnya.

Masalahnya tak berhenti di situ. Setelah kanker ditemukan, selanjutnya penanganan kanker payudara menjadi tantangan tersendiri yang tak kalah besarnya. “Ketika pasien merasa ada benjolan, untuk berani datang ke fasilitas kesehatan butuh waktu 1-3 bulan. Sampai ditangani dengan benar butuh waktu 9-15 bulan,” terang Ketua PERABOI dr. Walta Gautama, Sp.B (K) Onk.

Dengan kata lain meski kampanye soal pentingnya deteksi dini telah ditekankan, akan percuma bila penatalaksanaan tidak diperbaiki. “Hasilnya akan sama saja. Sebab penanganan kanker harus benar dari awal sampai akhir,” tandas dr. Walta. Upaya preventif dengan deteksi dini, kuratif (pengobatan), hingga paliatif, perlu dibenahi.

Menurut dr. Walta, masalah di Indonesia terkait penanganan kanker payudara masih sama. “Yaitu belum ada regulasi standar untuk alur rujukan kasus terduga kanker payudara dari fasilitas kesehatan primer ke fasilitas sekunder dan tersier. Padahal untuk kemajuan terapi kanker payudara, Indonesia tidak kalah, bahkan unggul dibandingkan negara lain,” paparnya.

Tak hanya regulasi, tatakelola manajemen di tingkat rumah sakit pun harus dibenahi. “Selama ini lebih banyak profesi yang bergerak. Kita mau standar tertentu, tapi infrastruktur di RS tidak memadai,” ucap dr. Kardinah.

Upaya dan Harapan dari Kerjasama Lintas Profesi

Negara-negara ASEAN membentuk The Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS), sebagai forum global berkumpulnya para tenaga medis profesional di bidang kanker payudara, komunitas-komunitas kanker payudara, pasien, penyintas, bidan, tenaga kesehatan, dan wakil pemerintah. Sejak 2016, SEABCS rutin menggelar pertemuan regional. Tahun ini, SEABCS ke-5 dihelat di Indonesia, di mana YKPI didapuk sebagai penyelenggara.

SEABCS  2021 akan berlangsung selama selama 2 hari (31 - 1 Agustus 2021). Tema yang diambil adalah “Putting Patients to the Hearts of Cancers Control,” atau menempatkan pasien sebagai yang utama dalam penanganan kanker. Mengingat pandemi COVID-19 yang masih melanda, acara akan dilakukan secara daring.

Ajang dan bertukar pengetahuan dan pengalaman ini diharapkan mampu mengurai simpul-simpul masalah penanganan kanker payudara di masing-masing negara. “Harapannya melalui SEABCS akan lahir sebuah rekomendasi yang merupakan hasil pemikiran para ahli dan peserta, yang kemudian bisa dibawa ke pembuat kebijakan masing-masing negara,” ujar Ning Anhar selaku Wakil Ketua Penyelenggara.

Hal senada diungkapkan oleh dr. Walta. “Di forum SEABCS kita ingin sharing bagaimana cara mereka mendapatkan data, mengatur regulasi supaya pasien yang ditemukan kanker tahap dini tidak butuh waktu lama untuk ditangani. Apalagi soal teknik operasi kita tidak ketinggalan dengan negara lain” pungkasnya. (nid)

________________________________________

Ilustrasi: Ribbon photo created by jcomp - www.freepik.com