Pasien Dialisis Boleh Hamil

Pasien Dialisis Boleh Hamil

Perempuan yang menderita gagal ginjal tahap akhir (GGTA), bila sudah menerima terapi pengganti ginjal misalnya dialisis (cuci darah), bisa hamil. “Literatur menyebutkan ada kasus seperti itu. Di Indonesia pun ada,” terang dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH, konsultan ginjal dan hipertensi. Kehamilan bukan tanpa risiko, jadi Ibu perlu kontrol teratur ke dokter, lebih sering daripada ibu hamil umumnya.

Pasangan  yang istrinya menjalani dialisis lalu hamil relatif jarang. Secara umum, pasien dialisis tidak dianjurkan hamil karena risikonya tinggi. Data menunjukkan, 20% mengalami keguguran. Sekitar 80% kehamilan bertahan 32 minggu dan bayi lahir prematur.

Pada pasien dialisis, fungsi ginjal yang bekerja menyaring racun metabolisme dan kelebihan cairan dari darah selama 24 jam, diganti alat. Dialisis dilakukan dua kali seminggu; kadar racun metabolisme jadi lebih tinggi dibanding orang yang ginjalnya sehat. Racun membuat bayi sulit berkembang, meski ada kehamilan yang dilaporkan baik.

Saat dialisis, sekitar 350-400 cc darah ditarik keluar, hingga darah yang mengalir di sirkulasi berkurang; termasuk aliran darah ke janin. Hal ini dapat mengganggu kesehatan dan keselamatan janin.

Pola dialisis diubah saat hamil. “Dipersingkat dan dipersering,” ujar dr. Tunggul. Alasannya, bayi ikut melepaskan sisa pembuangan sehingga ginjal harus bekerja lebih keras, agar darah tetap bersih. Saat hamil, frekuensi dialisis bisa 3-4x seminggu.

Tingginya kadar racun/zat sisa dalam darah bisa diketahui dengan pemeriksaan lab. Tanda yang bisa dikenali, misalnya ganguan nafsu makan. “Kalau mual dan sulit makan, mungkin racunnya sudah tinggi,” ujar dr.Tunggul.

Kondisi janin perlu dipantau. Bila sudah bisa dilahirkan meski belum 40 minggu, biasanya segera dilakukan operasi Caesar. “Namun persalinan tidak harus secara operasi; bisa nomal. Tergantung kondisi ibu,” tutur dr. Unggul. (nid)