Kampanye 10 Jari, Kenali Faktor Risiko dan Gejala Kanker Ovarium
gejala_kanker_ovarium

Kampanye 10 Jari, Kenali Faktor Risiko dan Gejala Kanker Ovarium

Kanker ovarium atau indung telur belum terlalu banyak dikenal. Padahal, ini merupakan kanker organ reproduksi terbanyak nomor dua pada perempuan, setelah kanker serviks (leher rahim). Menurut Globocan 2020, tercatat 14.896 kasus baru kanker ovarium, dengan angka kematian 9.581 perempuan per tahun. Gejala kanker ovarium hampir tidak ada, sehingga sulit dideteksi secara dini. Ini yang membuat angka kematian begitu tinggi.

“Sebagian besar kanker ovarium terdiagnosis pada stadium 3-4. Bukan cuma di Indonesia, negara maju pun demikian,” ungkap Dr. dr. Brahmana Askandar, Sp.OG(K), K-Onk. Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) ini menjelaskan bahwa pada kanker ovarium, perubahan sel dari sel normal sampai menjadi kanker, tidak melalui tahap-tahap sejelas pada kanker serviks.

Umumnya, pasien baru ke dokter ketika sudah ada gejala jelas, yang menandakan bahwa kanker sudah lanjut. “Misalnya perut sudah membesar, sesak karena ada cairan di paru, atau gangguan buang air besar karena ada penyebaran kanker di usus,” terangnya, dalam diskusi virtual “Kampanye 10 Jari: Bersama Kita Bisa Menghadapi Kanker Ovarium” bersama AstraZeneca, Kamis (13/1/2022).

 

Sulit Dideteksi Dini

Deteksi dini menjadi tantangan besar, karena pada stadium dini tidak ada gejala. “Misalnya benjolan di ovarium masih 1 – 2 cm, jarang terdeteksi karena tidak ada keluhan apa-apa. Haid normal, indung telur juga masih bisa reproduksi,” ujar Dr. dr. Brahmana.

Pemeriksaan canggih pun mungkin saja menyatakan kondisi seseorang saat itu normal. Adapun melalui pemeriksaan genetik, bisa dilihat berapa persen risiko seorang perempuan terhadap kanker ovarium. Mereka yang terdeteksi dini biasanya ditemukan secara tidak sengaja. Atau ada keluhan lain, ketika dilakukan pemeriksaan USG ternyata ditemukan benjolan pada indung telur.

Namun tentu saja, kondisi tiap orang berbeda. Figur publik Shahnaz Haque misalnya, yang didiagnosis kanker ovarium pada 1998. “Saya mendapatkan tanda dan gejala, tidak menstruasi padahal saat itu saya belum menikah. Artinya tidak ada kehamilan,” ujar bungsu dari tiga bersaudara. Secara genetik, Shahnaz memang memiliki riwayat kanker ovarium di keluarga. Nenek, ibu, dan adik ibunya meninggal karena penyakit tersebut.

Bercermin dari pengalaman ibunda yang baru terdiagnosis pada stasium akhir (4), Shahnaz tidak ingin melakukan kesalahan yang sama. “Jadi ketika ada gejala tidak haid, saya curiga dan langsung ke dokter,” ujarnya. Shahnaz pun lantas didapuk sebagai Duta Peduli Kanker Ovarium, dan kini giat menggencarkan Kampanye 10 Jari, untuk melindungi perempuan dari kanker ovarium.

 

Faktor Risiko dan Tanda-Gejala Kanker Ovarium

Kanker ovarium memang tidak menimbulkan gejala pada stadium awal. “Namun kita bisa mencurigai beberapa keluhan, misalnya sering kembung,” ujar Dr. dr. Brahmana. Kampanye 10 Jari adalah usaha untuk meningkatkan kesadaran kita, dengan mengenali 6 faktor risiko dan 4 tanda-gejala kanker ovarium.

Berikut ini 6 faktor risiko untuk kanker ovarium.

1. Riwayat kista endometrium

Endometrium (lapisan dinding rahim bagian dalam) bisa tumbuh di tempat lain di luar rahim; kondisi ini disebut endometriosis. Disebut kista endometrium bila endometriosis tumbuh di indung telur. Diduga bahwa peningkatan estrogen, stres oksidatif, dan peradangan akibat endometriosis meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium.

2. Riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan/atau kanker payudara

“Bila ada riwayat kanker ovarium atau kanker payudara di keluarga. Misalnya ibu, nenek, atau saudara perempuan, harus waspada terhadap faktor genetik,” tegas Dr. dr. Brahmana

3. Mutasi gen

Perempuan yang terlahir dengan mutasi genetik tertentu misalnya BRCA1 atau BRCA2 memiliki risiko lebih besar terhadap kanker ovarium. BRCA1 dan BRCA2 juga merupakan mutasi gen yang meningkatkan risiko untuk kanker payudara. Mutasi gen bisa diperiksa, seperti yang dilakukan oleh Angelina Jolie beberapa waktu silam.

4. Paritas rendah

Risiko kanker ovarium lebih besar pada perempuan yang tidak pernah hamil, atau kehamilan (paritas) yang rendah. Hal ini dikaitkan dengan ovulasi atau pelepasan sel telur matang menuju tuba falopi. Ketika terjadi ovulasi, keluarlah berbagai sel-sel peradangan.

“Kalau tidak pernah hamil, indung telur bekerja tiap bulan untuk menghasilkan ovulasi. Kalau hamil, kan ovarium beristirahat 9 bulan, sehingga peradangan berkurang,” jelas Dr. dr. Brahmana. Apalagi bila lanjut memberikan ASI eksklusif; ovarium bisa beristirahat selama 6 bulan lagi. “Namun ini sama sekali bukan justifikasi untuk punya banyak anak. Banyak anak pun menimbulkan masalah lain lagi,” tegasnya.

5. Gaya hidup yang buruk

Gaya hidup yang buruk juga berpengaruh. Misalnya pola makan yang tidak baik, dan gaya hidup sedenter (jarang bergerak), yang memicu kegemukan/obesitas. “Obesitas berkaitan, tapi belum diketahui secara pasti mekanismenya seperti apa,” ucap Dr. dr. Brahmana.

6. Pertambahan usia

Usia yang lebih tua juga termasuk salah satu faktor risiko. “Risiko terjadinya kanker ovarium pada perempuan yang berusia 60 tahun, jauh lebih besar daripada usia 20 tahun,” lanjutnya.

Tanda dan gejala kanker ovarium

Adapun tanda dan gejala kanker ovarium meliputi 4 hal, yaitu: kembung, nafsu makan berkurang, sering buang air kecil, nyeri panggul atau perut. “Sebaiknya segera cek ke dokter kandungan bila merasakan gejala seperti itu. Kalau ternyata arahnya bukan ke angguan di kandungan, dokter akan merujuk ke spesialis lain yang berkaitan. Bisa juga periksa ke dokter umum,” tandas Dr. dr. Brahmana.

Gejala kanker ovarium memang tidak spesifik, bahkan pada stadium dini tidak ada keluhan apapun. “Kalau merasakan gejala, tidak usah ke dukun macam-macam. Jangan lagi window shopping cari pengobatan alternatif. Langsung ke dokter, karena kalau ke mana-mana dulu nanti terlambat,” pungkas Shahnaz. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Hand photo created by katemangostar - www.freepik.com