Hubungan Intim Harus Setara dan Dilandasi “Consent” | OTC Digest
hubungan_intim_consent_setara_marital_rape

Hubungan Intim Harus Setara dan Dilandasi “Consent”

Kita di Indonesia, mayoritas dibesarkan dalam kultur “istri wajib melayani suami”. Bagaimanapun kondisinya, istri harus mau ketika suami mengajak berhubungan intim. Padahal kenyataannya tentu tidak seperti itu. Pernikahan seharusnya adalah relasi yang setara antara suami dan istri, termasuk dalam hubungan intim. Kedua belah pihak harus sama-sama menginginkan dan menikmatinya.

Dari segi kesehatan, hal ini pun beralasan. “Saat perempuan berhubungan intim karena terpaksa, ia tidak bisa menikmatinya. Maka biasanya, cairan (lubrikan) vagina tidak keluar,” ungkap dr. Dinda Derdameisya, Sp.OG dari Brawijaya Women and Children Hospital, Jakarta, dalam sebuah kesempatan.

Berhubungan seksual tanpa keluarnya cairan lubrikan akan menimbulkan gesekan pada area vagina perempuan, yang tentunya akan menimbulkan nyeri. “Gesekan juga akan menimbulkan luka, ujung-ujungnya bisa terjadi infeksi,” ujar dr. Dinda. Suami harusnya paham sampai ke permasalahan ini. “Ketika istri capek, ya jangan dipaksa. Yang menikmati (hubungan intim) cuma suami, tapi istri malah kesakitan,” imbuhnya.

 

Marital rape dan KDRT

Perkosaan dalam perkawinan (marital rape) itu nyata. Pada dasarnya, tiap hubungan seksual harus didasari oleh consent (persetujuan). Dijelaskan oleh organisasi nirlaba anti kekerasan seksual di Amerika Serikat Rape, Abuse and Incest National Network (RAINN), consent adalah persetujuan antara mereka yang terlibat dalam aktivitas seksual. Maka segala aktivitas seksual yang tidak didasari consent kedua pihak, di mana salah satu pihak merasa terpaksa, adalah perkosaan—sekalipun itu terjadi dalam hubungan suami-istri.

Menurut Shanti Mulyaraharjani, pengacara yang fokus pada hak-hak perempuan, pemaksaan dalam hubungan suami-istri sudah masuk tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Saat suami pulang dalam keadaan mabuk lalu memaksa untuk berhubungan, padahal istri sedang tidak ingin. Ini banyak terjadi,” ujarnya dalam kesempatan berbeda.

Sayangnya, kultur kita membuat banyak perempuan tidak membicarakan hal ini. Ada anggapan kuat bahwa masalah rumah tangga sebaiknya tidak diumbar, ditambah lagi pemikiran bahwa istri tidak boleh menolak permintaan suami. Akhirnya banyak istri yang tidak sadar bahwa ia mengalami perkosaan dalam pernikahan. Kalaupun ia merasa terpaksa saat berhubungan intim, ia menganggapnya sebagai hal yang memang wajar dialaminya sebagai istri.

Jangan melulu menyalahkan alkohol. Psikolog yang fokus pada isu perempuan dan anak Rosdiana Setyaningrum, MPsi, MHPEd menyatakan, perkosaan dalam rumah tangga tak hanya terjadi saat suami mabuk. “Biasanya kekerasan ini tidak terjadi saat hubungan seksual saja, tapi memang terjadi KDRT sehari-hari. Misalnya saat bertengkar, suami sering melakukan kekerasan fisik. Mabuk atau tidak mabuk, ia bisa melakukan marital rape,” tuturnya.

Ia menegaskan, korban KDRT harus keluar dari lingkaran itu dalam satu tahun. “Secara psikologis, setelah satu tahun, rasa percaya dirinya pasti turun,” ujarnya. Korban biasanya mengalami Stockholm syndrome. “Dia akan merasa tergantung dan tidak bisa bertahan tanpa pasangannya, takut tidak bsia memenuhi kebutuhan diri dan anak-anak. Karena itu, ia harus keluar dalam satu tahun pertama,” tandas Rosdiana.

Teman, keluarga, dan lingkungan berperan besar untuk menarik korban dari lingkaran KDRT. Sering kali korban tidak merasa bahwa ia mengalami KDRT. Orang-orang terdekatlah yang bisa mengenali, menyadarkan, dan menariknya keluar dari hubungan yang toksik. Bukannya malah menghakimi sebagai istri yang tidak becus, atau bahkan malah memaksanya untuk bertahan dalam hubungan suami istri yang dibumbui KDRT.

Tidak sedikit korban KDRT yang terus bertahan hingga 10-20 tahun. Hingga suatu saat ia mencapai titik kesadaran bahwa ia harus keluar. “Saat itu dia benar-benar harus keluar. Kalau tetap di lingkaran, akan makin sulit keluar karena rasa percaya dirinya sudah habis. Dia akan merasa bodoh, memang layak mengalami hal tersebut. Bahkan berpikiran, sudah bagus ada yang mau dengannya,” sesal Rosdiana.

Melindungi diri dari KDRT dan menuntut consent dalam tiap hubungan intim jangan diartikan sebagai tindakan membangkang, dan semata ingin memenjarakan suami. Alangkah baik bila suami bisa diajak bicara dari hati ke hati mengenai consent. Suami yang menghargai istri dan memandang istri setara dengannya akan berusaha menerima pernyataan istri. Bila mengalami KDRT, bicaralah dengan orang terdekat yang bisa dipercaya. Jangan menganggap bahwa pasangan bisa berubah dengan sendirinya, dan bahwa kita bertanggungjawab untuk membuat pasangan menjadi lebih baik. Segeralah cari pertolongan, jangan biarkan berlarut-larut dan makin sulit untuk kelur dari lingkaran KDRT. Ini bukan masalah yang bisa dianggap sepele. (nid)

_________________________________

Ilustrasi: Flower photo created by freepik - www.freepik.com