Temuan SEANUTS II: Triple Burden Malnutrisi pada Anak Indonesia
triple_burden_malnutrisi

Temuan SEANUTS II: Triple Burden Malnutrisi pada Anak Indonesia

Kekurangan zat gizi, kekurangan zat gizi mikro, dan kegemukan/obesitas. Inilah triple burden malnutrisi yang kerap terjadi di negara-negara ASEAN, berdasarkan temuan terbaru South East Asian Nutrition Surveys kedua (SEANUTS) pada 2022 ini.

“SEANUTS adalah penelitian skala besar terkait kesehatan, nutrisi, perilaku, dan gaya hidup anak Indonesia,” terang Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), peneliti utama SEANUTS II, yang merupakan Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Penelitian dilakukan oleh FrieslandCampina, bekerjasama dengan universitas dan lembaga penelitian terkemuka di empat negara di Asia Tenggara.

SEANUTS II sendiri merupakan lanjutan dari SEANUTS I, yang dipublikasi hampir 10 tahun lalu, tepatnya pada 2013. SEANUTS II melibatkan 14.000 anak (usia 6 bulan hingga 12 tahun) di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Di Indonesia, penelitian untuk SEANUTS II dimulai pada Desember 2019, tepat sebelum pandemi COVID-19, hingga Maret 2020. “Awalnya direncanakan di seluruh provinsi, tapi dikarenakan pandemi, akhirnya dilakukan di 21 kabupaten/kota, di 15 provinsi,” ujar Prof. Rini, dalam konferensi persi pemaparan hasil studi SEANUTS II di Jakarta beberapa waktu lalu. Penelitian melibatkan 25 tenaga dokter, ahli gizi, ahli kesehatan masyarakat, dan ahli olahraga.

Triple Burden Malnutrisi

Seperti telah disebutkan, triple burden malnutrisi pada anak di Indonesia meliputi kekurangan zat gizi, kekurangan zat gizi mikro, dan kegemukan/obesitas. Salah satu cerminan bahwa kekurangan gizi yakni masih tingginya kasus anak pendek (stunted) pada anak <5 tahun di daerah Jawa dan Bali, yaitu 28,4%. “Ini terhitung masih tinggi, karena di atas 20%,” ujar Dr. dr. Dian Novita Chandra, M.Gizi, salah satu peneliti di SEANUTS II.

Ia melanjutkan, angka stunted di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. “Di desa 33,6%, dan di kota 20,6%,” imbuhnya. Secara umum, angkanya lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Tak hanya stunted, kekurangan gizi pada anak di Indonesia juga terlihat dari kasus wasting (berat badan sangat kurang) yang mencapai 4,3%, dan underweight (berat badan kurang) sebesar 19%.

Sebagai informasi, yang dimaksud stunted berarti anak-anak tersebut tergolong pendek dibandingkan anak seusianya, tapi belum tentu stunting. “Untuk disebut stunting, perlu peellitian yang lain lagi,” jelas Dr. dr. Dian. Selain itu, stunting juga melibatkan berkurangnya kecerdasan anak, bukan sekadar perawakan pendek.

Adapun kekurangan zat gizi mikro, antara lain tercermin dari tingginya prevalensi anemia dan defisiensi zat besi pada anak di bawah 5 tahun. Anemia mencapai 25,8%, dan defisiensi zat besi angkanya bahkan lebih tinggi lagi, mencapai 29,1%.

Di samping itu, juga ditemukan bahwa sebagian besar anak mengalami insufisiensi (ketidakcukupan) vitamin D dan kalsium. Padahal zat besi, vitamin D, dan kalsium adalah golongan mineral yang sangat krusial untuk mendukung tumbuh kembang anak.

Bagaimana dengan obesitas? “Angkanya lebih tinggi pada kelompok anak yang lebih besar dibandingkan pada balita,” ujar Dr. dr. Dian. Ditemukan, hampir 15% anak usia 7-12 tahun memiliki kelebihan berat badan atau obesitas.

Makronutrisi dan Mikronutrisi

Protein adalah makronutrisi yang berperan sangat besar dalam tumbuh kembang anak. Tubuh dan otak anak mutlak membutuhkan kesembilan asam amino esensial lengkap, dan ini hanya terkandung dalam protein hewani. Protein nabati pun mengandung asam amino esensial, tapi tidak lengkap, sehingga harus dikombinasi dari berbagai bahan pangan agar lengkap 9.

Sayangnya, harus diakui, protein hewani masih dinilai mahal bagi sebagian masyarakat Indonesia. Tidak semua orang mampu mengakses daging, unggas, susu, atau ikan. “Asupan protein masih kurang dari 80%, dan rata-rata asupan energi kurang dari 70%,” Prof. Rini menyayangkan.

Memang betul, sumber protein hewani relatif lebih mahal dibandingkan protein nabati seperti kacang-kacangan, tempe, dan tahu. Namun bukan berarti sama sekali tidak bisa diakses. Ada protein hewani yang cukup terjangkau, misalnya telur, dan ikan air tawar. Alangkah baiknya bila dalam satu komunitas, dibangun kolam-kolam ikan (misalnya lele), untuk lauk anak sehari-hari.

Hal menarik lainnya, ternyata protein hewani umumnya juga mengandung zat besi. Maka jangan heran bila kekurangan protein hewani kerap diiringi dengan defisiensi zat besi, yang bila tidak segera ditangani akan berujung pada anemia.

Pemberian MPASI (makanan pendmping ASI) adalah masa yang krusial dalam status nutrisi anak, untuk mencegah stunting. Ada begitu banyak faktor penyebab stunting. Salah satunya yang perlu diwaspadai adalah pemberian MPASI yang kurang tepat. “Ini banyak dijumpai di Indonesia. Apakah MPASI kurang cepat, atau kurang variasi,” tegas Dr. dr. Dian.

Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia Andrew F. Saputro berharap, hasil temuan SEANUTS II bisa menjadi data komplementer, melengkapi data nasional yang sudah ada. “Semoga dapat dijadikan referensi bagi pemerintah, akademisi, pemangku kepentingan, dan semua pihak yang terkait, sebagai basis data pembuatan program intervensi maupun perumusan kebijakan terkait peningkatan sttus gizi generasi bangsa,” tuturnya.

Triple burden malnutrisi di Indonesia adalah persoalan serius yang harus segera diselesaikan. Pemerintah sendiri telah menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 14% pada 2024. “Saatnya mengembangkan ketahanan pangan dan ketersediaan makanan untuk asupan gizi seimbang, agar tumbuh kembang anak optimal,” pungkas Prof. Rini. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Group of children photo created by jcomp - www.freepik.com