Mencegah Anemia Defisiensi Besi pada Anak | OTC Digest

Mencegah Anemia Defisiensi Besi pada Anak

Anemia defisiensi besi (ADB) masih banyak terjadi pada balita, sayangnya sebagian besar orangtua tidak mengerti dampak buruk ADB, dan tidak mengetahui gejala yang muncul.

Makanisme perjalanan kekurangan zat besi menjadi ADB melalui 3 tahap. Pertama yang disebut deplesi besi, yakni saat tubuh kekurangan besi akan mengambil cadangan besi (feritin) di hati; kadar feritin menurun. Pada kondisi ini tidak menunjukkan gejala apapun.

“Anak-anak masih tampak sehat dan bugar. Kadar hemoglobin (Hb) pun masih normal,” terang dr. Murti Andriastuti SpA(K), Ketua Satgas Anemia Defisiensi Besi, Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Jika tidak ditanggulangi kadar besi di darah semakin berkurang, walau kadar Hb belum turun (masih normal). Kondisi ini dikategorikan pada tahap kedua, yakni defisiensi besi. Tahap terakhir  disebut anemia defisiensi besi. Kandungan besi semakin tipis dan tidak ada lagi yang bisa digunakan untuk memroduksi hemoglobin; kadar Hb turun.

Dr. Murti menjelaskan Jika seorang anak sudah dinyatakan anemia defisiensi besi, dan menunjukkan gejala pucat, lemah, letih, lesu, berarti sudah terlambat. “Walau kadar Hb bisa ditingkatkan dengan transfusi, tapi gangguan tumbuh kembang akibat kekurangan Hb yang lalu bisa permanen,” imbuhnya.

Inilah pentingnya mencegah jangan sampai anak jatuh pada kondisi ADB. Pemberian suplemen besi disarankan sejak tahap pertama (deplesi) atau kedua (defisiensi besi).

“Kesulitannya adalah tidak ada gejala pada tahap pertama dan kedua. Sehingga sangat disarankan melakukan pemeriksaan darah lengkap sekali setahun (sampai usia 2 tahun) pada kelompok risiko tinggi, seperti bayi prematur, berat bayi lahir rendah. Juga pada remaja putri yang sudah menstruasi,” tutur dr. Murti dalam acara Merck Pediatric Forum 2018, beberapa waktu lalu.

Baca juga : Pemberian Tepung Bayi Rawan Sebabkan Defisiensi Besi

Jenis pemeriksaan darah yang dilakukan adalah reticulocyte hemoglobin content (CHr). Reticulocyte merupakan bentuk eritrosit (sel darah merah) muda yang dilepaskan oleh sumsum tulang dan kemudian bersikulasi. CHr akan menggambarkan kondisi zat besi di sumsum tulang yang akan digunakan untuk memroduksi hemoglobin.  

“Jika kadar besi di reticulocyte rendah, sudah bisa dikategorikan masuk ke tahap deplesi atau defisiensi besi,” terangnya.

Suplementasi zat besi sangat disarankan untuk mengganti cadangan besi yang sudah berkurang. Orangtua harus pintar memilih produk suplemen zat besi. Karena beberapa produk menimbulkan efek samping mual, selain rasanya yang tidak enak.

“Suplemen besi bisa diberikan di sela waktu makan. Walau penyerapan besi paling baik saat perut kosong, tapi sebaiknya jangan, karena bisa membuat mual sehingga anak tidak mau makan,” tambah dr. Murti.

Pencegahan

Penyebab terbanyak ADB adalah faktor nutrisi. Sehingga upaya pencegahan difokuskan pada asupan zat besi dalam makanan sehari-hari. Sumber zat besi terbaik ada pada protein hewani, terutama daging merah. Selain itu ada pada tiram, ikan laut dan hati. Sumber nabati antara lain ada di bayam, kacang-kacangan, lentil, tomat, biji wijen, tahu dan kentang.

Prof. Dr. dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, dalam kesempatan yang sama menambahkan, perlu memerhatikan komposisi nutrisi dalam dalam satu porsi makan. Makanan pokok menempati setengah porsi piring, lauk-pauk (terutama dari hewan) dan sayuran, masing-masing lebih dari seperempat piring.

“Jadi sejak bayi makannya sudah harus lengkap. Bubur bayi itu juga sudah harus mengandung protein, apakah dari susu atau daging yang dilumatkan,” kata Prof. Soedjatmiko.

Yang tak kalah penting adalah jangan beri si kecil susu setelah makanan, karena kalsium bisa menghambat penyerapan zat besi.  (jie)