protein penting untuk anak umur 1 sampai 3 tahun

Kenapa Protein Penting Untuk Anak 1 Sampai 3 Tahun

Pada satu hingga tiga tahun pertama kehidupan pemenuhan ada zat-zat gizi tertentu yang wajib dipenuhi agar tumbuh kembang si kecil optimal. Protein adalah salah satu nutrisi terpenting maturasi organ dan perkembangan kognitif anak.

Pertumbuhan, perkembangan dan maturasi fungsi tubuh bergantung pada asupan lebih dari 50 jenis makro dan mikronutrisi yang optimal. Namun lebih dari itu, protein menempati peran yang menentukan.

Protein dibentuk oleh ribuan unit asam amino, yang satu dan lainnya dihubungkan dengan rantai panjang. Di dalam tubuh, protein dicerna/dipecah agar asam amino bisa digunakan dalam beragam proses metabolisme. Ia adalah pembentuk struktur sel, membantu sel menjalankan fungsinya dan mengatur banyak fungsi lain dalam organ.

Protein juga memiliki peran khusus dalam sistem pertahanan tubuh, dengan mengikat partikel asing (virus atau bakteri) untuk melindungi tubuh dari penyakit. Ia pun adalah ‘kurir’ pembawa pesan sinyal antarsel, jaringan dan organ.

Protein hewani dan nabati

Kecukupan protein dipengaruhi baik oleh kualitas dan kuantitas protein dalam makanan. Secara umum, protein hewani lebih baik dari nabati, karena mengandung asam amino yang lebih lengkap. Susu sapi adalah salah satu sumber protein hewani terbaik, selain itu bisa didapatkan dari daging atau telur.

Bayi dan anak-anak dalam masa tumbuh pesat membutuhkan lebih banyak protein per kilogram berat badan dibanding orang dewasa.

Prof. Yvan Vandenplas, kepala departemen pediatrik di Vrije Universiteit Brussel Belgia, menjelaskan terdapat 2 masalah berkaitan asupan protein pada anak, yakni kekurangan dan kelebihan protein. Kekurangan protein berakibat pada malnutrisi, juga perkembangan otak dan fungsi mental yang tidak optimal. Membuat si kecil gampang rewel, cenderung lebih cemas dan depresi.  

Ketidakcukupan protein dapat dimulai sejak masa konsepsi atau dalam kandungan, menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR). “Anak dengan BBLR berisiko menderita sindroma metabolik seperti obesitas, hipertensi, hiperkolesterol saat ia dewasa. Jika intervensi dilakukan saat dewasa, sudah terlambat. Harus pada 2-3 tahun pertama kehidupan,” ujar Prof. Yvan.  

Namun di sisi lain kelebihan protein dalam 3 tahun pertama kehidupan juga dihubungkan dengan peningkatan angka diabetes pada anak-anak, obesitas dan dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan gangguan ginjal.

“Terlalu banyak protein sama jeleknya dengan kurang protein,” tegas profesor yang juga peneliti ini.

Bagaimana pada anak dengan alergi protein susu sapi?

Pada bayi, yang saluran cernanya belum matang, mencerna protein bisa jadi masalah. Pada anak-anak dengan alergi protein susu sapi, pemberian protein yang terhidrolisa -selepas ASI- lebih baik daripada protein utuh.

Protein terhidrolisa adalah protein yang rantai molekulnya sudah dipecah sehingga usus lebih gampang menyerap.Terdapat 3 bentuk protein hidrolisa, yakni hidrolisa parsial, di mana rantai molekulnya sudah terpotong, namun masih berupa rangkaian panjang. Kemudian hidrolisa ekstensif yang rangkaian rantai molekulnya lebih pendek dari parsial. Dan susu formula asam amino, yang rantai molekulnya sudah terpisah sendiri-sendiri.

Jika dibandingkan dengan protein terhidrolisat ekstensif atau susu asam amino, protein terhidrolisa parsial lebih bisa diterima bayi. Ini disebabkan rangkaian protein yang mirip dengan susu sapi biasa (rangkaian proteinnya utuh), sehingga rasanya mirip dengan susu sapi biasa.

Konsensus ahli pediatrik mengatakan, susu formula terhidrolisa parsial digunakan sebagai pencegahan alergi pada bayi/anak yang punya bakat alergi. Diberikan sebelum gejala alergi muncul. Sementara susu formula terhidrolisa ekstensif atau asam amino sebagai terapi pengobatan pada yang sudah mengalami alergi.

“Susu formula hidolisa parsial terbukti menurunkan risiko dermatitis atopik (eksim), tapi tidak pada kejadian asma. Karena eksim adalah alergi yang hanya disebabkan oleh makanan. Sementera asma dapat disebabkan faktor lingkungan,” papar Prof. Yvan. “Selain itu menurunkan frekuensi kolik pada bayi, frekuensi BAB sama dengan jika diberi ASI, tidak menyebabkan diare atau konstipasi.”

Studi oleh Dominik D. Alexander dan Michael D. Cabana menunjukkan kejadian eksim terjadi pada 7 bayi berusia 6 bulan, 35 bayi 12 bulan dan 41 bayi 24 bulan dari total 365 bayi yang diberi susu hidrolisa parsial. Jumlah ini jauh dibawah bayi yang mendapatkan susu formula biasa, yakni 26 bayi usia 6 bulan, 72 bayi usia 12 bulan dan 78 usia 24 bulan dari 383 bayi. Studi ini dipublikasikan dalam jurnal medis Nutrition Research Rewiew 2010.

“Selepas masa ASI, susu formula hidrolisa parsial segera diberikan pada anak-anak yang berisiko alergi. Cara ini efektif untuk mencegah alergi,” tambah Prof. Yvan.

Jika susu formula hidrolisa parsial diberikan sesegera mungkin, anak lebih dapat mentolelir/menerima rasanya. Ini disebabkan pada usia < 6 bulan, anak / bayi masih belajar mengenal rasa. Dibandingkan jika si kecil lebih dulu diberi susu formula biasa yang rasanya cenderung manis, mereka cenderung menolak saat diberi susu hidrolisa parsial. (jie)

Baca juga : Bagaimana Mencegah Eksim Susu Akibat Alergi Susu Sapi?