“Susu” Kental Manis Tingkatkan Risiko Gigi Berlubang | OTC Digest
susu_kental_manis_gigi_berlubang

“Susu” Kental Manis Tingkatkan Risiko Gigi Berlubang

Harga “susu”kental manis (SKM) yang murah tak ayal menjadikan “susu” ini kerap dipilih oleh orangtua untuk melengkapi gizi anak. Apalagi rasanya enak, dan iklannya menampilkan anak (juga orangtua bahkan nenek) yang sehat dan ceria karena minum “susu” setiap hari. “Susu” yang dimaksud yakni SKM yang dicampur dengan air.

Kini setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan bahwa SKM bukan termasuk produk susu barulah terkespos secara luas bahwa SKM minim nutrisi, sebaliknya mengandung kadar gula sangat tinggi. Tidak hanya meningkatkan risiko diabetes, hal ini juga berdampak buruk bagi kesehatan gigi anak. Karies gigi (gigi berlubang) pada anak masih jadi masalah besar di Indonesia. Prevalensi karies gigi pada usia balita (bawah lima tahun) mencapai 90,05%, dan merupakan masalah utama gigi dan mulut pada balita. Bahkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, early childhood caries (ECC) atau karies usia dini pada anak usia 3 – 5 tahun termasuk yang tertinggi di dunia.

Lagi-lagi, tingkat ekonomi turut berperan. Dalam risetnya mengenai pola pemberian ASI (air susu ibu) dan keparahan ECC pada anak <3 tahun di Jakarta, Febriana Setiawati Sugito, dkk (Makara, 2008) mengungkapkan bahwa status ekonomi yang rendah membuat orangtua tidak dapat memberikan nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Ini diperparah dengan rendahnya pengetahuan bahwa ASI merupakan terbaik bagi bayi. Cukup banyak yang tidak memberikan ASI atau hanya memberikannya dalam waktu singkat; salah satu alasannya karena ibu harus segera kembali bekerja setelah melahirkan. Sebagai pengganti atau tambahan ASI, banyak yang akhirnya memilih SKM atau minuman manis lain seperti teh manis, karena tidak mampu membeli susu formula.

Baca juga: “Susu” Kental Manis Bukan untuk Diminum

Dalam riset ini, ditemukan bahwa 22,2% anak diberi ASI + SKM, dan tingkat ECC kelompok ini mencapai hampir 85%. Sebanyak 0,5% anak hanya diberi SKM, dan tingkat ECC-nya 100%. Sedangkan pada anak yang diberi ASI+susu formula, angka ECC jauh lebih rendah (44,93%), dan 40,74% pada anak yang hanya diberi susu formula.

Juga dituliskan bahwa dalam studi percontohan sebelumnya, 55% ibu dari status sosioekonomi rendah memberi SKM sebagai pengganti atau tambahan ASI, dikarenakan mahalnya susu formula. Dengan rendahnya pengetahuan mengenai kebersihan gigi dan mulut, maka risiko karies gigi pun meningkat.

Karies gigi bukan masalah sepele. ECC bisa mengganggu fungsi sistem pencernaan, yang akan menghambat proses tumbuh kembang anak. Artikulasi dan kejelasan anak dalam mengucapkan fonem pun terganggu. Pada akhirnya, anak bisa mengalami rasa percaya diri rendah.

Ketimbang memberi SKM sebagai tambahan ASI, lebih baik membuat bubur saring sendiri dari berbagai bahan makanan segar. Tak harus mahal; ada buah-buahan lokal, hati ayam, ceker, dan sayur mayur.

SKM memang murah, tapi layakkah bila itu mengorbankan kesehatan dan tumbuh kembang anak? (nid)

_________________________________

Foto oleh: Hanida Syafriani