Waspadai Pandemic Fatigue, yang Membuat Kita Mengabaikan Prokes

Waspadai Pandemic Fatigue, yang bisa Membuat Kita Mengabaikan Prokes

Setahun pandemi, tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan (prokes), atau malah makin abai? Ternyata, wajar kok kalau kita jenuh. Ini disebut pandemic fatigue. “Menurut WHO, pandemic fatigue adalah demotivasi atau kejenuhan untuk mengikuti prokes yang dianjurkan,” ungkap sosiolog Daisy Indira Yasmine

Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan segala perubahan. Namun pada satu titik, bisa muncul kejenuhan. Pandemic fatigue muncul secara bertahap dari waktu ke waktu, datang dan pergi. Bisa jadi pada suatu periode kita jenuh, lalu kembali sadar untuk menjalankan prokes.

Apa penyebab pandemic fatigue?

Sebenarnya, pandemic fatigue adalah situasi yang sudah diprediksi. Kejenuhan serupa juga bisa dialami oleh mereka yang memiliki penyakit kronis, misalnya kanker. Pada suatu titik, timbul kejenuhan terhadap penyakitnya, pengobatan, dan lain-lain, hingga akhirnya bersikap masa bodoh. “Demikian juga saat pandemi ini. Bisa terjadi kejenuhan sosial akibat krisis kesehatan publik yang berlarut-larut,” papar Daisy, dalam diskusi virtual bersama Frisian Flag Indonesia dan Forum Ngobras, Senin (22/3/2021).

Tentu saja, pengalaman individu selama setahun pandemi ini berkontribusi dalam munculnya kejenuhan. “Mereka yang di keluarga dekatnya atau lingkungannya tidak ada terkena COVID-19, akan cenderung lebih abai,” ujar Daisy.

Bisa juga karena stres akibat tekanan yang begitu kuat, dan tidak ada kepastian kapan pandemi akan berakhir. Atau karena sudah pasrah, akhirnya bersikap masa bodoh dan mengabaikan prokes, daripada tidak bisa melakukan hal yang diinginkan.

Hal serupa disampaikan oleh spesialis gizi dr. Diana F. Suganda, M.Kes, Sp.GK, dalam kesempatan yang sama. Di awal pandemi, orang berbondog-bondong memborong sayur, buah, masker, dan multivitamin. “Tapi makin ke sini, sebagian orang makin abai. Merasa sudah tahu jadi lebih santai. Padahal pandemi masih ada, dan kita tidak tahu sampai kapan,” tuturnya.

Faktor lain yakni keterpaksaan yang kita rasakan. Selama pandemi, kita “dipaksa” menjalankan berbagai perubahan dalam pola hidup kita. “Perubahan ini dipaksakan oleh institusi, regulasi, negara, hingga komunitas global kepada orang yang terkena COVID-19 maupun yang tidak. Orang yang tidak kena dan hidupnya tetap biasa saja saat pandemi, tapi diminta melakukan perubahan, akan mudah merasa jenuh,” tutur Daisy.

Waspada musim mudik

Grafik penularan yang fluktuatif adalah tanda bahwa telah terjadi gelombang pandemic fatigue. Sebentar lagi masuk bulan Ramadhan, diikuti dengan Hari Raya Idul Fitri. Ini adalah saat yang rentan. “Masa liburan dan Hari Raya adalah saat paling sulit untuk mempertahankan prokes. Banyak yang lebih mengutamakan relasi dengan keluarga, serta kegembiraan sehingga prokes terabaikan,” papar Daisy.

Pemerintah telah menyatakan larangan resmi mudik Lebaran 2021, yang akan diberlakukan sepanjang 2 – 17 Mei 2021. Larangan ini mungkin terasa tidak adil dan tampak mengekang kebebasan. Namun ini memang diperlukan. Menahan diri untuk mudik adalah pilihan yang lebih bijaksana, agar tidak terjadi lagi gelombang penyebaran dari satu daerah ke daerah lain, sehingga pandemi cepat berakhir. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: People photo created by user18526052 - www.freepik.com