Skizofrenia Bukan Penyakit Kutukan dan Dapat Diobati

Skizofrenia Bukan Penyakit Kutukan dan Dapat Diobati

Skizofrenia membuat seseorang yang semula lincah dan periang tiba-tiba menarik diri dan pikiran-pikirannya tidak sesuai realita. Ini bukan gila dan bisa diobati.

Skizofre merupakan penyakit, di mana penderita sulit memroses pikirannya sehingga timbul halusinasi, delusi, pikiran tidak jelas dan perilaku  tidak wajar. Terjadi gangguan cara pikir, cara mengekspresikan emosi dan mempersepsi situasi di lingkungannya. Penderita sulit berinteraksi dengan orang lain. Gejala biasanya muncul di usia remaja atau dewasa muda. Atau di usia >40 tahun.

“Skizofrenia bukan gila. Terjadi  karena ada masalah di otak. Bukan karena guna-guna, kutukan atau santet,”  papar dr. A. A. Ayu Agung Kusumawardhani, SpKJ(K) beberapa waktu lalu. 

Skizofrenia dapat dikelompokkan menjadi yang  gejalanya positif dan negatif. Gejala positif misalnya mengalami hal yang tidak dialami orang normal, seperti halusinasi (mendengar, melihat, merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada), delusi/waham (berkeyakinan kuat tentang sesuatu yang tidak nyata, atau tidak mampu memisahkan realitas dan khayalan). Pikiran tidak terorganisir sampai adanya agitasi.

Golongan gejala negatif, jika sampai kehilangan pola pikir/perilaku. Seperti tidak ada semangat/motivasi, menarik diri, apatis dan hilangnya respons emosi (terkesan menjadi sangat datar). Masuk golongan gejala afektif jika berhubungan dengan mood. Pasien menunjukkan perilaku depresi, kesepian, kecemasan bahkan ingin bunuh diri. Golongan gejala kognitif jika suli konsentrasi dan daya ingat.

Riwayat perjalanan penyakit terjadi sejak anak-anak (fase dini). “Pada masa remaja, gejala-gejala  mulai muncul,” kata dr. Agung. “Seperti perasaan ada sesuatu yang mengancam, walau ancaman tersebut tidak ada.” Terjadi penurunan prestasi sekolah dan jika sudah bekerja, produktifitas menurun dan tidak bisa konsentrasi.

Dapat diobati

Skizofrenia dapat diobati. ODS (orang dengan skizofrenia) dapat hidup normal dan berprestasi. Belum diketahui pasti penyebab skizofrenia. Banyak hal yang bisa berkontribusi. Misalnya faktor genetis, meski anak dari orangtua skizofrenia belum tentu menjadi skizofrenia. Kemudian, kondisi pra kelahiran, cidera otak atau tekanan sosial. Pemakaian obat-obat psikotropika dapat menjadi pemicu. Dengan minum obat gejala akan hilang, meski  bisa muncul kembali.

Terapi dilakukan jangka panjang, dengan kombinasi obat dan psikoterapi. Obat untuk menurunkan gejala psikosis, psikoterapi membantu ODS memahami, menerima dan menjalani penyakitnya.  Bisa sembuh sempurna? Tergantung kondisi ODS, misal apakah diobati sejak dini serta konsistensi terapi. Data menunjukkan, sekitar 75% ODS kambuh dalam 1 sampai 1,5 tahun, jika terapi dihentikan atau obat tidak dikonsumsi teratur.

Makin sering kambuh, kondisi ODS makin menurun dan risiko kerusakan otak permanen makin besar. “ODS dikatakan sudah recover, jika mampu menjalankan fungsi sosial tanpa didampingi orang lain setidaknya 2 tahun. Ini tujuan akhir pengobatan,” papar dr. Agung.

Deteksi dini

Terapi dan pengobatan berhasil baik bila ODS dapat dideteksi sedini mungkin. Penting untuk memperhatikan perubahan perilaku anak/individu, misal dari yang awalnya lincah, aktif olahraga, menarik diri atau mendadak tidak bersemangat. “Bila diobati sudah tidak merespon, berarti  sudah terjadi kerusakan di otak.” terang dr. Agung.

Skizofrenia, terlepas dari penyebabnya, terjadi karena berlebihnya dopamin di otak. Dopamin bersifat neurotoksik atau menjadi racun di saraf otak. Kata dr.Agung, “Kalau kerusakan sudah berlangsung lama, susah diobati.” Ratih Ibrahim MM, Psi., menyatakan, orangtua tentu sadar jika perilaku anak tiba-tiba berbeda, “Orangtua jangan sungkan konsultasi ke ahli jiwa.”

Secara fisik, ODS kadang tampak asyik ngobrol dengan seseorang  yang tidak tampak dan kecerdasannya menurun. Tidak lagi menganggap penting memakai baju, atau makan makanan yang kurang bersih. “Nilai sosialnya terganggu, sehingga tidak mengerti harus ramah dan berpakaian sesuai norma yang berlaku,” papar dr. Agung.

Peran keluarga penting untuk memberi semangat dan melihat kemajuan/kemunduran ODS. Kalau tidak rutin minum obat, keluarga harus mengingatkan. (jie)


Ilustrasi: Gerd Altmann from Pixabay