kapan kita benar-benar perlu healing
kapan kita benar-benar perlu healing

Kapan kita Benar-Benar Perlu Healing?

Beberapa waktu viral di media sosial tentang seorang mahasiswa semester satu yang merasa tugas-tugas kuliahnya sangatlah berat. Ini sampai mempengaruhi kesehatan mentalnya dan ia membutuhkan healing.

Mahasiswa berusia 21 tahun ini tidak menyangka jika tugas kuliah bisa membuatnya stres.

"Gue anak 21, gak nyangka ternyata kuliah itu seburuk itu untuk mental health. Semester 1 kemarin gue udah dihujani materi sama tugas yang bener-bener banyak. Akibatnya waktu gue untuk healing sama self-reward jadi kurang banget," curhatnya.

Menariknya mahasiswa ini meminta izin mengambil cuti kuliah selama 6 bulan, agar ia bisa melakukan healing. Dan tentu saja orangtuanya tidak memberikan izin, menganggapnya manja.

Fenomena ini banyak dialami oleh anak-anak muda zaman sekarang. Bahkan beberapa pakar menyebut ini adalah fenomena “generasi stroberi” – merujuk buah stroberi yang lunak, gampang ‘terluka’ jika ditekan.

Menanggapi hal tersebut dr. Andri, SpKJ, FACLP, dari RS EMC Alam Sutera, menjelaskan healing (proses penyembuhan) sejatinya dibutuhkan terutama oleh mereka dengan gangguan kecemasan, depresi dan masalah psikosomatis. Tentunya dengan bimbingan / bantuan profesional (psikolog atau psikiater).

Pada orang-orang normal tanpa gangguan mental, healing lebih merujuk pada waktu istirahat.

Setiap orang memerlukan cara healing yang benar agar jangan sampai menganggu aktivitas sehari-hari.

“Tiap orang punya kesibukan masing-masing. Kapan kita perlu healing itu tergantung kapasitas mental dan emosi tiap-tiap orang,” kata dr. Andri dalam channel YouTube pribadinya.

Ia tidak menampik bahwa tiap orang membutuhkan waktu istirahat, untuk menurunkan level energi yang dipakai, dan agar bisa memakai energi tersebut di hari berikutnya.

“Apakah kita membutuhkan healing dengan libur 3 bulan sekali atau setiap bulan, tergantung dari pekerjaan. Tetapi sebisa mungkin kita mengetahui dasar dari kapan kita mesti healing,” tuturnya. “Misalnya kalau bekerja lebih dari 10 jam per hari, terus-menerus,  Anda bisa ambil jarak (istirahat) yang lebih panjang.”

Istirahat atau berlibur dibutuhkan untuk mencegah terjadinya burnout (kelelahan mental dan fisik akibat stres yang berlebihan). Burnout diawali secara perlahan dari kondisi keseharian, meningkat menjadi kebosanan, penuh tekanan dan merasa tidak nyaman. Akhirnya bisa menyebabkan gangguan kecemasan dan gangguan panik.

Namun yang perlu dicatat, “Otak juga perlu latihan menghadapi situasi-situasi kehidupan yang sulit. Tanpa itu bagaimana otak kita bisa belajar tentang sesuatu hal yang baru,” ujar dr. Andri.

Tanda-tanda orang membutuhkan healing

Tekanan pekerjaan yang terus-menerus bisa membuat mental kita kelelahan. Ada cara mengenali bila otak dan mental kita sudah pada kondisi overload:

  1. Menjadi lebih sensitif, dan lebih mudah emosional.
  2. Merasa kelelahan di pagi hari, alih-alih berenergi setelah bangun tidur.
  3. Tidak lagi bergairah menghadapi kondisi kehidupan.
  4. Mengerjakan aktivitas tidak lagi dengan rasa senang, tetapi merasa terpaksa.

Bekerja dengan efektif

Walau akan membantu kondisi mental, healing bukanlah satu-satunya cara untuk mencegah burnout. Metode lainnya adalah dengan bekerja efektif.

“Kalau kita lihat di luar negeri, jam kerjanya rata-rata hanya 5 jam, itupun selama 5 hari. Kenapa bisa begitu? Karena mereka bekerja lebih efektif,” tukas dr. Andri. “Kalau Anda bisa mengefektifkan waktu kerja, mungkin Anda tidak perlu bekerja hingga 10 jam.”

Salah-satu caranya, imbuhnya, adalah dengan membuang hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, seperti bermain game dan berselancar di media sosial di waktu kerja, atau hal-hal lain yang tidak mendukung pekerjaan.

“Kita perlu kerja cerdik dan mengelola (kesehatan mental), dengan menyeimbangkan kemampuan dengan kapasitas sehari-hari dalam bekerja,” pungkas dr. Andri. (jie)