manfaat probiotik untuk ibd menyeimbangakan flora usus

IBD Berkaitan dengan Mikrobiota Usus, Seperti Apa Peranan Probiotik?

IBD (Inflammatory Bowel Disease) adalah peradangan saluran cerna, yang berkaitan dengan respons imun yang menyimpang terhadap mikrobiota usus. “Peradangan bersifat kronik, lebih dari enam bulan, dan kambuhan,” jelas Dr. dr. Neneng Ratnasari, Sp.PD-KGEH, dosen di Dept. Ilmu Penyakit Dalam FKKMK UGM. Penyebab terjadinya IBD belum diketahui, tapi ditengarai bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan berperan sebagai patofisiologinya.

Ada dua tipe IBD, yaitu ulcerative colitis (UC) dan Crohn’s disease (CD). “Keduanya memiliki tampilan yang berbeda secara klinis. Bila dilihat melalui kolonoskopi, pada UC terlihat luka atau ulkus di usus besar. Sedangkan pada CD, usus tampak berbenjol-benjol seperti polip,” terang Dr. dr. Neneng, dalam webinar Kedokteran Keluarga bertajuk Tatalaksana IBD dan Manfaat Probiotik yang diselenggarakan oleh OTC Digest bekerjasama dengan Kedokteran Keluarga UGM dan PT Yakult Indonesia Persada, Sabtu (26/3/2022).

Tempat terjadinya gangguan pun berbeda. Pada UC, peradangan terbatas pada usus besar saja. Bisa hanya di bagian ujung, sebagian usus besar, atau pada seluruh bagian usus besar. Adapun CD tak hanya terbatas di usus besar, melainkan bisa terjadi di bagian lain sepanjang saluran cerna misalnya area ileocaecal.

Secara umum, tatalaksana IBD meliputi dua hal: farmakologi (obat-obatan) dan non farmakologi. Obat utama yang digunakan yaitu antiinflamasi (antiradang) golongan 5-ASA. Pada UC, bisa dipertimbangkan pemberian obat antibodi monoklonal, vedolizumab. Pada CD, mungkin diperlukan pemberian antibiotik seperti metronidazole dan ciprofloxacin, atau obat imunosupresan.

Adapun terapi non farmakologi antara lain meliputi kebersihan fisik, perbaikan pola makan, pengelolaan stres, istirahat cukup, serta modifikasi mikrobiota usus. “Kondisi bakteri di usus berpengaruh terhadap keberhasilan terapi. Kombinasi obat dengan probiotik membantu mencegah kekambuhan,” ujar Dr. dr. Neneng.

Disbiosis atau ketidaksiembangan bakteri di usus memicu terjadinya disregulasi respons imun, disfungsi usus, serta kerusakan sawar usus. Tak hanya itu, disbiosis juga memicu respons tubuh melalui jalur gut-brain axis, yang pada akhirnya menimbulkan berbagai keluhan pada saluran cerna seperti diare, sakit perut, dan lain-lain.

Membedakan IBD dan IBS di Layanan Primer

Di layanan primer, kasus IBD biasanya merupakan rujuk balik dari RS. “Diagnosis IBD memerlukan fasilitas di RS, belum bisa dilakukan di layanan primer. Kita perlu menilai, apakah kecurigaan mengarah ke IBD, ataukah IBS,” ungkap Dr. dr. Wahyudi Istiono, M.Kes, Sp.KKLP, dosen pada Program Studi Kedokteran UGM.

Sesuai namanya, IBS (Irritable Bowel Syndrome) merupakan sindrom di mana usus mengalami iritasi.  Berbeda dengan IBD yang melibatkan kelainan organ, IBS hanya berupa gangguan fungsional, tanpa adanya kelainan organ. IBD didiagnosis dengan pemeriksaan khusus, termasuk tes darah, endoskopi, dan pencitraan. “Sementara itu, tidak ada tes diagnostik untuk IBS. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kondisi klinis. Ini yang perlu digali dan dikenali oleh dokter di layanan primer,” ujar Dr. dr. Wahyudi.

Pemeriksaan antara lain meliputi anamnesis serta penilaian gejala dan fisik, misalnya pemeriksaan dengan stetoskop untuk menilai suara perut. Dr. dr. Wahyudi mengingatkan, sebagai kontak pertama pasien, dokter keluarga perlu melakukan check list mengenai pola BAB pasien. “Apakah ada konstipasi, diare, campuran konstipasi dan diare, lendir pada feses, perasaan tidak lampias setelah BAB, feses yang encer dan/atau sering, serta nyeri perut dan kembung,” paparnya.

Patofisiologis IBS antara lain pola makan, intoleransi terhadap makanan tertentu, infeksi pada saluran cerna, gangguan mental, stres, hingga masalah motorik saluran cerna. Dengan menggali hal-hal tersebut dari pasien, dokter akan bisa menyimpulkan apakah keluhan yang dialami pasien adalah IBS, atau mengarah kepada IBD hingga perlu dirujuk ke RS.

Tatalaksana IBS diutamakan dengan dialog dan diet (pola makan), “Bila tidak ada gangguan organ, yakinkan pasien bahwa IBS tidak mengancam jiwa.” Obat adalah pilihan terakhir. Modifikasi diet misalnya meningkatkan asupan serat hingga 30 mg/hari; diet rendah FODMAP (Fermentable Oligo-, Di-, and Monosaccharides and Polyols); serta menghindari laktosa, gluten, dan kafein berlebih.

Pasien juga disarankan untuk meningkatkan aktivitas fisik, dan mengurangi stres. Obat diberikan sesuai keluhan yang dialami pasien. Misalnya obat pencahar bila pasien mengalami konstipasi, obat antidiare pada pasien dengan keluhan diare, hingga antidepresan trisiklik untuk mengatasi nyeri terkait IBS.

Peranan Probiotik

“Pada dasarnya, pada IBS, probiotik berperan untuk mengembalikan kondisi mikrobiota usus menjadi lebih baik. Dari kondisi disbiosis menjadi normobiosis,” tegas Prof. Dr. Ir. Endang S Rahayu, MS, Guru Besar Bidang Mikrobiologi Pangan pada Fakultas Teknologi Pertanian UGM.

Prof. Trisye, begitu ia disapa, menjelaskan bahwa disbiosis memicu terjadinya inflamasi dan kebocoran pada tight junction mukosa usus. “Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas usus, sehingga berbagai komponen, termasuk lipopolisakarida dan bakteri gram negatif, bocor dan masuk ke aliran darah,” terangnya. Zat-zat tersebut pun mengaktifkan imun mukosa, hingga akhirnya terjadi peningkatan sitokin pro-inflamasi dan peradangan epitel usus.

Penelitian mengenai manfaat probiotik dan prebiotik untuk IBD telah banyak dilakukan, dan terus berkembang. Pada 2018 misalnya, studi oleh Audrey Y Coqueiro, dkk mengulas 16 penelitian mengenai suplementasi probiotik untuk UC, dan 12 penelitian pada CD. “Disimpulkan bahwa suplementasi probiotik dapat membantu pengobatan pada UC, tapi tidak pada CD,” ujar Prof. Trisye.

Pada 2019, Srijilita Sireswar, dkk melakukan review terhadap studi mengenai suplementasi probiotik, prebiotik, dan sinbiotik untuk pasien IBD sepanjang 2002 – 2019. “Ditemukan bahwa dari total 32 studi, sebanyak 28 atau 87,5% menunjukkan hasil yang efektif untuk UC. Sedangkan untuk pasien CD, dari 10 studi hanya 30% yang terbukti efektif,” lanjut Prof. Trisye.

Ulasan sistematik oleh Lopes G, dkk (2021) menyimpulkan bahwa penggunaan probiotik, terutama untuk jangka panjang, bisa membantu menurunkan gejala terkait IBD. Berdasarkan analisis endoskopi, ditemukan bahwa terjadi penurunan sitokin proinflamasi dan inflamasi usus.

Update terbaru dilakukan oleh S. Selvamani, dkk (2022). Studi tersebut menyatakan bahwa disbiosis dianggap sebagai faktor kunci yang berkaitan dengan IBD. “Terapi berbasis probiotik bisa mengurangi dan memperbaiki permabilitas usus terhadap mikroorganisme patogen. Juga menginduksi sistem imun usus dengan meningkatkan diferensiasi sel Th1, fungsi sawar usus, dan sintesis protein esensial,” papar Prof. Trisye.

Ia melanjutkan, probiotik untuk IBD lebih bermanfaat bila dikombinasi dengan prebiotik. Kombinasi ini disebut sebagai sinbiotik. Selain itu, publikasi terbaru juga membuka wawasan untuk penelitian mengenai intervensi dengan postbiotik sebagai pendekatan baru untuk IBD. Postbiotik adalah metabolit-metabolit yang dihasilkan dalam proses pembuatan probiotik. “Perlu digarisbawahi, penggunaan probiotik, sinbiotik, maupun postbiotik untuk IBD bersifat sebagai terapi tambahan, untuk mendampingi terapi utama,” pungkasnya. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: <a href='https://www.freepik.com/photos/period-pain'>Period pain photo created by user18526052 - www.freepik.com</a>