beta blocker merupakan obat anti hipertensi

Amankah Pemberian Obat Beta-Blocker untuk Pasien Hipertensi yang Kena COVID-19

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021 menyatakan sebanyak 1,28 juta orang di seluruh dunia berusia antara 30-79 tahun menderita hipertensi. Sayangnya 46% penderita hipertensi tidak menyadari bila mereka memiliki kondisi tersebut. Padahal, hipertensi adalah komorbid tersering yang menyebabkan seseorang mengalami infeksi COVID-19 berat.  

Tahukah Anda bila dari total penderita hipertensi di dunia hanya 42%-nya yang terdiagnosis dan diobati; dari jumlah tersebut hanya 21% yang berhasil mengontrol tekanan darahnya. Miris. 

Dalam International Society of Hipertention Global disebutkan seseorang dikategorikan menderita hipertensi (tekanan darah tinggi) bila memiliki tekanan darah sistolik (saat jantung memompa) >140mmHg, dan tekanan darah diastolik (saat jantung istirahat) >90mmHg; ditulis dengan >140/90 mmHg.

Hipertensi disebut juga sebagai silent killer (pembunuh diam-diam). Sebagian besar penderitanya tidak merasakan gejala atau keluhan. Penyakit ini laiknya bom waktu, baru memberi dampak yang sangat besar ketika ia ‘meledak’ (menimbulkan komplikasi berupa serangan jantung atau stoke).

Itulah sebabnya hipertensi perlu diobati. Dr. Chiquititia Bunga Ariona, Medical Executive Affairs Menarini Indonesia menjelaskan pada umumnya obat anti hipertensi dibagi menjadi golongan diuretik (pemicu berkemih), obat yang pengubah sistem renin-angiotensin, dan obat yang menurunkan resistensi pembuluh darah perifer atau curah jantung.

Beta-blocker (penghambat beta) adalah golongan obat yang digunakan untuk penanganan beragam kondisi jantung. Termasuk ke dalam obat hipertensi untuk menurunkan resistensi pembuluh darah atau curah jantung.

Obat-obatan golongan beta-blocker bekerja dengan cara menekan efek dari hormon epinephrine (adrenalin; hormon yang berperan dalam mengalirkan darah), sehingga membuat jantung berdenyut lebih lambat dan sedikit bekerja, serta tekanan darah turun.

Berdasarkan reseptor beta mana yang dihambat dan efeknya terhadap tubuh, obat beta-blocker terbagi menjadi 2 jenis:  beta-blocker selektif dan non selektif.

Beta-blocker selektif bertugas menghambat reseptor beta-1 dengan efek memengaruhi kerja jantung, namun tidak pada jalur pernapasan. Beberapa jenis obat golongan ini adalah acebutolol, atenolol, bisoprolol, esmolol dan metoprolol.

Beta-blocker nonselektif bertugas menghambat reseptor beta-1 dan beta-2 dengan efek yang memengaruhi jantung, pembuluh darah dan jalur pernapasan. Jenisnya antara lain nadolol, labetalol, propranolol dan timolol.

“Obat beta-blocker generasi ketiga juga bersifat sebagai vasodilator (melebarkan pembuluh darah agar sirkulasi darah berjalan lancar), misalnya nebivolol,” terang dr. Bunga, dalam Seminar Kefarmasian yang berlangsung secara daring, Rabu (8/9/2021). 

Kerusakan endotelial (jaringan sel yang melindungi pembuluh darah) berperan penting dalam terjadinya hipertensi. European Society of Hypertension (ESC) menyatakan nebivolol memiliki manfaat lebih untuk tekanan darah, kekauan pembuluh darah dan disfungsi endothelial.

“ESC juga mengatakan bila penggunaan nebivolol punya efek samping minimal, dibandingkan beta-blocker klasik, termasuk lebih sedikit menyebabkan gangguan fungsi seksual,” terang dr. Bunga.

ESC merekomendasikan pemberian beta-blocker sebagai terapi lini pertama untuk penderita hipertensi dengan penyakit komorbid seperti diabetes dan gagal jantung kongestif. Efek samping paling sering adalah bradikardi (jantung berdetak lebih lambat) dan pusing.

Pemberian beta-blocker pada pasien COVID-19

Apt. Difa Intannia, M.Farm-Klin, Kabid Kerjasama & Kemitraan PD IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) Kalimantan Selatan menjelaskan, hipertensi merupakan salah satu komorbid yang paling sering menyebabkan pasien COVID-19 mengalami gangguan napas barat.

“Beberapa organisasi internasional menekankan bila mengontrol tekanan darah sangat penting untuk mengurangi beban penyakit, bahkan jika tidak berpengaruh pada kerentanan infeksi virus COVID-19,” katanya.

Riset yang termuat di New England Journal of Medicine (2020) – melibatkan 12.595 pasien – menilai hubungan antara terapi hipertensi, termasuk penggunaan beta-blocker, dengan hasil keparahan COVID-19.

Peneliti mendapati hasil tes COVID-19 yang positif dan keparahan yang terjadi tidak berhubungan dengan pengobatan hipertensi sebelumnya. Obat-obatan tersebut dapat digunakan pada penderita COVID-19.

“Data penelitian ini menunjukkan kemungkinan yang lebih rendah pada hasil positif COVID-19 pada pasien dengan beta-blocker,” terang Difa. 

Riset lain di Journal of Cardiology yang melibatkan lebih dari 2 juta penderita hipertensi menyimpulkan penggunaan obat antihipertensi tidak terkait dengan risiko dan tingkat keparahan COVID-19.

“Beberapa review menyarankan untuk tetap melanjutkan terapi hipertensi pada penderita COVID-19. Beta-blocker dapat digunakan sebagai terapi antihipertensi pada pasien dengan COVID-19,” pungkas Difa.  (jie)

____________________________________________________________________________

Ilustrasi: Steve Buissinne from Pixabay