Pandemi Covid Menurunkan Cakupan Imunisasi, Apa Bahayanya

Pandemi Covid-19 Menurunkan Cakupan Imunisasi Anak Indonesia, apa Bahaya dan Solusinya?

Ellen Wijaya, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Pandemi Covid-19 berpotensi menurunkan cakupan imunisasi dasar lengkap bagi anak-anak Indonesia.

Jika tidak diantisipasi, rendahnya cakupan imunisasi bisa menimbulkan bencana penyakit baru (seperti wabah campak, difteri, dan tuberkulosis) yang lebih besar pada masa mendatang di luar Covid-19. Padahal, penyakit tersebut bisa dicegah dengan vaksinasi.

Survei Kementerian Kesehatan dan UNICEF terbaru terhadap lebih dari 5.300 fasilitas kesehatan di Indonesia menunjukkan 84% responden mengatakan layanan imunisasi anak terganggu akibat Covid-19.

Survei ini juga menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia pada April 2020 menurun 4,7% dibanding April tahun lalu.

Saat normal saja dan jauh sebelum krisis kesehatan, Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia untuk anak berusia 12-23 bulan hanya sekitar 58% (targetnya 93% pada 2018) dari sekitar 6 juta anak yang harus vaksinasi. Padahal, program imunisasi dasar diberikan secara gratis oleh pemerintah di Puskesmas serta Posyandu.

Dengan adanya pandemi, target cakupan imunisasi dasar lengkap semakin berat. Para orang tua khawatir bahwa anak mereka akan tertular COVID-19 jika pergi ke tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Ada juga mispersepsi bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah kota besar beberapa pekan lalu dan kampanye #dirumahaja seakan menjadi larangan orang tua untuk membawa anak imunisasi.

Nasib anak Indonesia yang berjumlah 30% dari total penduduk sedang terancam, jika kita tidak meningkatkan kepedulian pentingnya imunisasi.

Panduan imunisasi saat pandemi

Sekitar 59 anak di bawah 18 tahun (1,6% dari total kematian) meninggal akibat Covid-19 di Indonesia per 15 Juli 2020. Ikatan Dokter Anak Indonesia menyebut persentase ini yang tertinggi di Asia Tenggara.

Kita berharap tidak ada lonjakan angka kematian karena penyakit infeksi lainnya yang bisa dicegah dengan pemberian imunisasi dasar lengkap.

Kementerian Kesehatan menyediakan imunisasi dasar lengkap gratis untuk anak berusia 0-11 bulan di Posyandu dan Puskesmas.

Setidaknya lima jenis vaksin yang diberikan untuk anak sesuai umurnya: vaksin hepatitis B; BCG untuk mencegah tuberkulosis, polio; DPT-HB-HiB untuk mencegah difteri, batu rejan, tetanus, dan hepatitis B; dan campak/MR untuk mencegah campak dan rubela.

Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Anak Indonesia telah mengeluarkan panduan agar fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tetap melayani imunisasi anak.

Empat panduan yang terpenting adalah:

(1) lakukan prinsip jaga jarak fisik,

(2) berlakukan ketat sistem triase (memisahkan anak yang imunisasi dengan anak yang berobat karena sakit), dan

(3) atur jam kedatangan sehingga tidak terjadi penumpukan orang,

(4) orang tua dan anak selalu diingatkan untuk menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan dengan sabun dan memakai masker di luar rumah.

Cakupan imunisasi rendah

Jauh sebelum pandemi, laporan Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2018 menyatakan lebih dari 14% (19 juta) anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi dasar dan sebagian besar ada di 10 negara, di antaranya Indonesia dan Republik Demokrat Kongo.

Di Indonesia pada 2018 masih ada 9,2% anak yang tidak diimunisasi dan 32,9% diimunisasi tidak lengkap.

Banyak hal menyebabkan minimnya cakupan imunisasi anak di Indonesia, di antaranya kontroversi manfaat dan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI), isu halal atau haram vaksin, bahkan gerakan anti-vaksin.

Dampak dari cakupan imunisasi dasar yang rendah sebelum pandemi COVID-19 mengakibatkan anak menjadi difabel, bahkan bisa meninggal.

Misalnya, wabah polio di Indonesia pada 2005-2006 menyebabkan 351 anak lumpuh. Bahkan ditemukan kasus baru polio di Papua pada 2019 walau Indonesia dinyatakan bebas polio empat tahun sebelumnya.

Kasus lainnya, tingginya angka kejadian campak (lebih dari 10.000 kasus) dan rubela (lebih dari 7.000 kasus) yang terkonfirmasi positif dari laboratorium sejak 2014 hingga 2018 telah menjadi beban bagi keluarga dan negara.

Selain itu, wabah difteri di Indonesia tahun 2017 merupakan yang tertinggi di dunia.

Masalah tersebut merupakan dampak dari cakupan imunisasi DPT-HB-Hib ke-3 di Indonesia yang rendah, yaitu 61,3% dan termasuk 5 besar negara dengan cakupan imunisasi terendah di regional Asia Timur dan Pasifik.

Belajar dari pengalaman Afrika

Sebuah studi di Afrika menunjukkan risiko anak meninggal akibat penyakit infeksi yang disebabkan oleh imunisasi tidak lengkap adalah 84 kali lebih tinggi daripada kemungkinan anak meninggal akibat tertular Covid-19 saat datang ke fasilitas kesehatan.

Kita bisa berkaca dari Republik Demokrat Kongo yang memiliki cakupan imunisasi dasar rendah seperti Indonesia.

Di tengah pandemi Covid-19 saat ini Kongo sedang berjuang menghadapi endemi campak yang mengakibatkan lebih dari 6.200 kematian dari sekitar 332.000 kasus. Dari jumlah kasus ini, lebih dari 85% kasus menimpa anak di bawah usia 5 tahun.

Dalam konteks dampak Covid-19, layanan imunisasi di negara maju seperti Amerika Serikat juga terpukul. Data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS menyatakan cakupan imunisasi dasar anak di negara bagian Michigan menurun 15,5% pada April 2020, dibandingkan April 2019.

Pandemi: butuh ratusan tahun untuk musnahkan penyakit

Butuh waktu lama untuk menghapus sebuah penyakit menular. Endemi virus variola (cacar/smallpox) pada abad ke-15 merupakan endemi virus pertama yang berujung dengan ditemukannya vaksin cacar oleh Edward Jenner, dokter Inggris pada abad ke-18. Penyakit ini dinyatakan ‘punah’ secara global pada 1980.

Tanpa vaksin penyebaran penyakit infeksi bisa meluas dan menyebabkan kematian tinggi. Beberapa pandemi flu sudah pernah terjadi sebelumnya dan yang terberat adalah flu Spanyol pada 1918. Pandemi ini mengakibatkan 50 juta penduduk dunia mati.

Pada pandemi flu Spanyol, Indonesia, menurut data Centers for Disease Control and Prevention (CDC) AS, menempati urutan ketiga sebagai negara dengan angka kematian tertinggi (sekitar 4 juta penduduk) di dunia setelah India dan Afrika Selatan.

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum ada vaksin, penyakit yang masih terjadi di masyarakat sebelum pandemi Covid-19 harus dikendalikan agar tidak melahirkan beban ganda pada masa mendatang.

The Conversation

Ellen Wijaya, Dokter Spesialis Anak/Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

_________________________________________________

Ilustrasi: Cute photo created by mdjaff - www.freepik.com