Kasus Reynhard, Laki-Laki pun bisa Jadi Korban Kekerasan Seksual
laki-laki_korban_kekerasan_seksual

Kasus Reynhard, Dokter: “Laki-Laki dan Perempuan bisa Jadi Korban Kekerasan seksual”

Kasus perkosaan yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga mengingatkan kita bahwa semua orang bisa menjadi korban kekerasan seksual. Termasuk laki-laki dewasa. Memang, data mengenai kekerasan seksual pada laki-laki masih terbatas. “Tapi di Asia Pasifik, diketahui sekitar 1,5 sampai 7,7 persen laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual,” ujar dr. Gina Anindyajati, Sp.KJ dari Divisi Psikiatri Komunitas, Rehabilitasi, & Trauma Psikososial, Dept. Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI/RSCM, Jakarta. Pada perempuan, angkanya jauh lebih tinggi: 35%.

Korban laki-laki dan perempuan memiliki beban sendiri sendiri, dan sikap kita sebagai masyarakat sering kali tidak adil dalam melihat kasus perkosaan. Kasus Reynhard pun memicu reaksi umum yang berbeda. Saat perempuan yang jadi korban, sering kali ia yang disalahkan. Pada kasus Reynhard, yang disalahkan adalah orientasi seksual pelaku. Padahal harusnya yang jadi fokus adalah tindak kejahatannya, bukan orientasi seksualnya.

Ya, struktur budaya patriarki menempatkan korban dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. “Pada korban perempuan, bebannya adalah perempuan selalu salah,” sesal dr. Gina, dalam diskusi Waspadai Kekerasan Seksual di Sekitar Kita: Dalam Tinjauan Medis di FKUI, Jumat (10/1/2020). Korban disalahkan mengenai pakaiannya, kenapa berjalan sendirian, hingga kenapa ia pulang larut malam. Meski kenyataannya, sebagian besar kasus perkosaan menimpa perempuan dengan pakaian biasa seperti pakaian kerja atau seragam sekolah.

Pada laki-laki, bebannya adalah tuntutan untuk harus selalu kuat. Anak lelaki diajarkan untuk tidak menangis, dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Terlebih dalam kasus kekerasan seksual, laki-laki adalah minoritas; kita lebih sering menganggap bahwa perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang rentan. “Sehingga ketika laki-laki jadi korban, mereka terpinggirkan penanganannya. Dalam struktur patriarki, seolah-olah lelaki tidak bisa jadi korban, dan kalau jadi korban tidak bisa mendapat pertolongan,” papar dr. Gina.

 

Membantu korban, jangan menghakimi

Korban, laki-laki maupun perempuan, butuh ditolong. “Pada prinsipnya, kita perlakukan korban secara manusiawi tanpa melihat gender, orientasi seksual, dan lain-lain,” tegasnya. Ia melanjutkan, “Hal pertama yang perlu dipenuhi dari korban kekerasan seksual adalah diterima. Dengarkan dulu apa yang hendak disampaikannya.” Korban membutuhkan lingkungan yang menerimanya tanpa syarat, tanpa menghakimi.

Sekadar meluangkan waktu untuk mendengarkan korban dan hadir untuknya, kadang itu sudah cukup bagi mereka. “Bayangkan mereka harus lapor ke polisi dan diinterogasi berulang-ulang. Itu kan mengulang hal yang tidak nyaman untuk mereka,” tutur dr. Gina. Setelah korban bercerita, baru kita mungkin bisa menanyakan apa yang bisa kita lakukan untuk membantunya.

Untuk bantuan secara medis, kita bisa mendampingi korban ke Pusat Krisis Terpadu (PKT) pada kasus kekerasan seksual yang baru terjadi. Di PKT, dokter akan memberikan intervensi krisis. Untuk penanganan jangka panjang, ada poli stres pasca trauma. Di sinilah korban mendapat pendampingan psikososial.

Pada dasarnya, korban perlu diterima, divalidasi perasaannya, dan ditentramkan ketidaknyamanannya. “Baru setelah itu mereka bisa mengakui apa yang mereka rasakan, dan berani mengutarakan apa yang mereka pikirkan, jadi mereka bisa merancang, apa yang sebaiknya mereka lakukan bila merasakan perasaan tertentu,” jelas dr. Gina. Inilah peran dokter sebagai pemberi layanan medis.

Tugas kita sebagai orang awam, “Menjadi bagian dari keluarga, menjadi bagian dari masyarakat.” Saat ada korban kekerasan seksual yang datang, terimalah dan dengarkan ceritanya, lalu bantu ia untuk pulih. Jadilah bagian yang mendampingi korban saat ia memerlukan pemeriksaan dan konsultasi ke dokter. “Tiap orang berhak mendapat bantuan. Inilah sedikitnya yang bisa kita lakukan untuk membantu korban,” tandas dr. Gina. (nid)