Operasi Bariatrik Untuk Penderita Obesitas Ekstrim | OTC Digest

Operasi Bariatrik Untuk Penderita Obesitas Ekstrim

Penderita obesitas sering frustrasi karena setelah mencoba diet ini itu, berat badan tidak juga turun. Turun sedikit, naik lagi. Seperti yoyo Ada cara “ekstrim” yang bisa dicoba, yaitu operasi memotong sebagian lambung. Operasi ini disebut bariatrik gastric banding atau vertical sleeve gastrectomy. Dengan lambung yang terpotong, kemampuan tubuh untuk menyerap lemak dapat dikurangi.

Operasi bariatrik dapat dilakukan terhadap penderita obesitas morbid (obesitas yang menyebabkan penyakit). Dilakukan ketika cara konvensional seperti olahraga, diet dan pengobatan lain, tidak lagi efektif. Biasanya dilakukan pada orang yang harus menurunkan berat badan hingga berpuluh kilogram.

The National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat menentukan standar minimum untuk melakukan operasi bariatrik. Yakni, mereka yang memiliki BMI (body mass indect) 30-40, dengan masalah kesehatan lain seperti diabetes dan jantung, atau yang BMI-nya >40.

Dr. Aaryan N. Koura, MD, konsultan bedah dari Tan Tock Seng Hospital Singapore menjelaskan, teknik ini dilakukan untuk mengurangi 60 – 80% ukuran lambung. “Di lambung ada hormon ghrelin, yang tugasnya mengirim sinyal lapar ke otak. Kalau lambung dipotong, produksi hormon berkurang sehingga kita tidak gampang lapar,” katanya beberapa waktu lalu di Jakarta.

Dengan ukuran lambung yang lebih kecil, kemampuan menerima makanan menjadi lebih sedikit. Rasa kenyang bertahan lebih lama sehingga penderita lebih jarang makan dibanding sebelumnya.

Operasi ini merupakan prosedur yang sedang “naik daun” di dunia kedokteran, karena efeknya lebih permanen. Operasi dilakukan dengan teknik laparaskopi, yaitu dengan membuat sayatan kecil dan memasukkan kamera ke dalam lambung. Jadi, ini tergolong operasi kecil dengan masa pemulihan sekitar 2 – 4 minggu.   

Operasi ini bisa menjadi harapan bagi mereka yang obesitas dengan diabetes. The New England Journal of Medicine mencatat, operasi beriatrik efeknya lebih signifikan pada penderita DM tipe 2, dibandingkan cara-cara konvensional. “Dengan operasi ini tingkat kenormalan kadar gula darah penderita obesitas dengan diabetes sampai 80%,” papar dr. Koura.  

Setelah operasi, sleep apnea (nafas terhenti sejenak saat tidur), sakit punggung bawah, sakit lutut dan sendi berkurang secara signifikan, seiring penurunan berat badan.

Meski begitu, operasi ini masih kontroversi di kalangan medis karena memiliki sejumlah efek samping. "Penderita bisa merasa cepat lelah, mual, muntah, kemungkinan devisiensi vitamin karena penurunan asupan yang drastis, perdarahan, bahkan kebocoran lambung," jelas Koura. “Tapi sebagian besar penderita obesitas merasa senang, walau ada efek samping.”

Dan, setelah operasi, gaya hidup harus diubah. Diet dan olahraga tak bisa dihindarkan. (jie)