Kenali Aturan Main Donor ASI | OTC Digest

Kenali Aturan Main Donor ASI

ASI merupakan makanan alami terbaik bagi bayi. Kesadaran ibu memberikan ASI ekslusif selama 6 bulan mulai meningkat berkat masifnya kampanye dari berbagai pihak. Namun pada kenyataannya ada beberapa kasus ibu tidak dapat memberikan ASI. Di sinilah donor ASI bisa menjadi solusi.

Ketua Satgas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Elizabeth Yohmi Sp.A, IBCLC menjelaskan bahwa donor ASI dibutuhkan terutama bagi ibu atau bayi dengan kondisi khusus. Beberapa di antaranya jika bayi lahir prematur dan ibu belum siap memproduksi ASI. Bayi memiliki sindroma kelainan penyerapan usus, yang tidak dapat diberikan susu formula. Atau, bayi dengan alergi protein susu sapi berat.

Tetapi fakta yang berkembang sekarang ini berbeda. Praktik donor ASI di Indonesia berjalan ke arah yang tidak terkendali. Era media sosial membuat komunikasi antara pendonor dan penerima ASI semakin mudah. Pencarian donor ASI beredar di grup-grup pesan instan atau media pertemanan sosial.

“Ibu-ibu saat ini sangat sadar untuk memberikan ASI kepada bayinya, namun sayangnya dengan mudahnya mendapatkan tawaran donor ASI, mereka jadi tidak mau berusaha memeras atau menyusui sendiri,” jelas dr. Yohmi dalam diskusi “Aturan Main Donor ASI” yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta, 13 Oktober 2017.

Menurut Yohmi, ASI terbaik adalah ASI dari ibu ke anaknya sendiri karena tubuh ibu memproduksi ASI dengan komposisi menyesuaikan kondisi bayinya, baik lahir cukup bulan atau prematur.

Sebagai alternatif makanan bayi, ASI donor memang terbaik, karena paling bisa ditolerir. Tetapi ada kerugiannya. “Meskipun ASI itu adalah susu, tetapi ia sebenarnya adalah produk darah yang dapat mentransfer berbagai penyakit. Kasus yang paling sering ditemui adalah penularan CMV (Cytomegalovirus), hepatitis B dan C, dan  HTLV (virus pemicu leukemia dan limfoma),” jelas dr. Yohmi.

Merujuk pada Badan Pencegahan dan Penularan Penyakit Amerika Serikat (CDC), tidak direkomendasikan ASI donor tanpa didahului skrining, baik pada ASI-nya dan ibu pendonor.

Skrining awal berupa pemeriksaan secara wawancara lisan atau tertulis. Dilanjutkan skrining laboratorium. Pertanyaan meliputi apakah ibu menerima transfusi dalam 12 bulan terakhir, minum alkohol, sedang minum obat hormonal, atau apakah vegetarian yang akan berdampak pada kualitas ASI.

Pemeriksaan laboratorium untuk hepatitis dan HIV dapat dilakukan dengan mudah, sayangnya untuk pemeriksaan HTLV belum ada di Indonesia. Setelah dinyatakan sehat, pendonor masih harus mengetahui cara pemerasan dan penyimpanan ASI yang benar.

Pedoman WHO menyatakan sebelum diberikan pada penerima donor, produk ASI mesti melewati proses kultur;  ditanam dalam media tertentu untuk memantau pertumbuhan kuman. Jika tidak tumbuh kuman, barulah ASI donor aman diberikan.  

“Jadi tidak semudah itu memberikan donor ASI. Penyimpanannya mesti dalam kotak pendingin khusus dan petugas pengelolaaannya menggunakan alat pelindung diri,” tambah Yohmi. “Donor ASI mesti diperlakukan seperti darah”.

Saat ini hanya RSCM yang memiliki bank penyimpanan ASI cukup baik. Berbeda di luar negeri di mana Bank ASI sudah sangat terstruktur. Bank ASI tidak hanya memastikan keamanan ASI tetapi menjamin kandungan zat gizi dalam ASI tetap terjaga. (jie)

 

Baca juga: Penularan HIV melalui ASI