Kapan Harus Menggunakan Obat Pereda Nyeri Untuk Gangguan Muskuloskeletal | OTC Digest

Kapan Harus Menggunakan Obat Pereda Nyeri untuk Gangguan Muskuloskeletal

Nyeri, termasuk nyeri pada gangguan muskuloskeletal, merupakan penanda bahwa tubuh mengalami gangguan. Di dunia medis, nyeri termasuk sebagai tanda vital seperti halnya tekanan darah, frekuensi nadi dan nafas, serta suhu tubuh.

Riset menyatakan nyeri otot, tulang, sendi dan saraf terjepit akibat gangguan muskuloskeletal adalah keluhan yang kerap dijumpai. Gangguan muskuloskeletal merupakan suatu kondisi yang mengganggu fungsi sendi, ligamen, otot, saraf dan tendon, serta tulang belakang.

Nyeri tak lain adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Atau, berpotensi menyebabkan kerusakan jaringan, sehingga seseorang merasa tersiksa, menderita dan tidak nyaman.

Nyeri akibat terkilir atau keseleo saat berolahraga, misalnya, jika kita paksakan bergerak akan bertambah nyeri dan dapat merobek otot. Bisa dikatakan, nyeri juga adalah alarm bahwa ada sesuatu yang tidak beres di tubuh.

Menurut dr. Jimmy F. A. Barus, MSc, SpS, dari Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, batas toleransi seseorang pada nyeri berbeda-beda. Itu yang menyebabkan orang butuh obat pereda nyeri (analgetik), sementara yang lainnya tidak. Nyeri bersifat individual.

Berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal, menurut dr. Jimmy, “Yang paling banyak dikeluhkan adalah nyeri leher dan nyeri punggung bawah (low back pain/LBP). Kejadian saraf terjepit (HNP) hanya  3-5%.”

Baca : Kenapa Masalah Muskuloskeletal Sebabkan Gangguan Keseimbangan Otot

Pada nyeri ringan seperti nyeri pinggang /LBP, selama penderita masih bisa beraktivitas, tidak terlalu terganggu,  dapat diatasi dengan analgetik atau istirahat. Kemudian lakukan pergangan (streaching) dan bila dibutuhkan fisioterapi. “Biasanya, nyeri timbul karena karena otot tegang,” kata dr. Jimmy.

Penggunaan analgetik bebas sebaiknya sesuai dosis yang tertera pada label. Tujuannya untuk menghindari peningkatan ambang toleransi tubuh pada obat jika diminum berlebih. Atau, mengurangi risiko efek samping seperti terjadi gangguan lambung, bahkan ginjal.

“Lansia (lanjut usia) sebaiknya ekstra hati-hati, karena biasanya mereka sudah ada penyakit penyerta, seperti hipertensi atau gangguan ginjal,” katanya. “Kalau dalam 3 hari nyeri tidak membaik, atau malah memburuk, sebaiknya konsultasi ke dokter supaya diberi obat yang sesuai.”           

Pemakaian obat antinyeri yang berlebihan dapat membuat ketergantungan – bukan kecanduan. Si pemakai merasa tenang (tersugesti) jika sudah minum obat. “Jadi, yang dicari efek tenangnya, bukan mengatasi sumber sakitnya,” papar dr. Jimmy. (jie)