Harapan untuk Kanker Paru dari Imunoterapi | OTC Digest
imunoterapi_pembrolizumab_kanker_paru

Harapan untuk Kanker Paru dari Imunoterapi

Di Indonesia, kanker paru menempati urutan 3 kanker terbanyak pada laki-laki dan perempuan, dan nomor wahid untuk kanker laki-laki. Namun, angka kematiannya paling tinggi untuk kanker pada laki-laki maupun perempuan. Menurut Globocan 2018, ada >30.000 kasus baru kanker paru di Indonesia, dengan angka kematian sekira 26.000.

Dan, angkanya cenderung meningkat. Data di Poli Onkologi RS Persahabatan mislanya, sepanjang 2010, tercatat hampir 1.500 kasus baru (orang/hari). “Sampai 2018, angkanya terus naik, baik pada laki-laki maupun perempuan,” ujar dr. Sita Andarini, Sp.P(K), Ph.D.

Kanker paru sendiri, berdasarkan definisi dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) adalah kanker yang berasal dari epitel bronkus. “Jadi bukan penyebaran dari sel kanker di organ lain,” jelas dr. Sita, dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta, Selasa (26/02/2019). Secara garis besar, kanker paru dibedakan menjadi karsinoma sel kecil (KPKSK), dan karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK). Pembagian jenis kanker ini akan menentukan pilihan terapinya nanti.

Baca juga: Imunoterapi yang Menyembuhkan Jimmy Carter dari Melanoma

Kanker paru jenis KPKBSK bisa mendapat pengobatan terbaru imunoterapi. Secara alamiah, tubuh memiliki kemampuan untuk membasmi sel kanker. Namun, sel kanker sangatlah pintar. “Ia memiliki kemampuan untuk lari dari radar sistem imun tubuh kita, sehingga sering tidak terdeteksi oleh sistem imun. Konsep imunoterapi adalah membuat sel-sel imun tubuh kembali mampu mengenali sel kanker dan menjadi aktif menyerangnya,” papar dr. Sita.

Sel kanker memiliki berbagai mekanisme untuk bersembunyi dari sistem imun. Salah satunya, “menyogok” sel limfosit T yang bertugas mematikan sel kanker. Sel limfosit T memiliki reseptor PD-1 (programmed cell death protein-1) pada permukaannya. Saat PD-1 menempel pada permukaan sel kanker, ia akan memicu kanker melakukan program bunuh diri.

Namun sel kanker sangat pintar; ia bisa mengembangkan PD-L1 untuk “menyogok” PD-1. “Ketika resptor PD1 pada sel limfosit T berikatan dengan PD-L1 yang ada di sel tumor, maka sel T menjadi lumpuh alias tidak aktif,” terang spesialis patologi klinik dr. Lisnawati, Sp.PK dari FKUI.

Baca juga: Pemeriksaan PD-L1 untuk Kanker Paru

Tidak semua sel kanker mengembangkan PD-L1, karena masing-masing sel kanker memiliki berbagai mekanismenya sendiri untuk melindungi diri dari kejaran sistem imun. Pada kanker paru, yang mengekspresikan PD-L1 yakni jenis KPKBSK.

Ini pun, tidak semua KPKBSK mengekspresikan PD-L1. Untuk melihat apakah kanker paru yang diderita seorang pasien memiliki ekspresi PD-L1, dilakukan pemeriksaan antibodi dengan biomarker imunohistokimia. Jadi saat menegakkan diagnosis, bukan hanya stadium kanker yang dinilai, tapi juga jenis kankernya, dan bila dibutuhkan, pemeriksaan biomarker.

Berdasarkan data internasional, sekitar 33% kanker paru KPKBSK mengekspresikan PD-L1 >50%. Di Indonesia belum ada datanya karena pemeriksaan ini masih baru. “Pemeriksaan PD-L1 sudah bisa dilakukan di FK UGM Yogyakarta dan di RS Dharmais. Sayang, biaya pemeriksaannya masih cukup tinggi, dan belum ditanggung BPJS,” ucap dr. Lisna.

 

Imunoterapi PD-1 inhibitor

Imunoterapi bersifat individual. Obat PD-1 inhibitor (pembrolizumab) bekerja dengan menghambat ikatan antara PD-1 dengan PD-L1, sehingga sel T limfosit tetap aktif dan bisa menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Pembrolizumab sangat efektif untuk kanker paru jenis KPKBSK dengan ekspresi PD-L1 >50%.

Pembrolizumab bisa membuat pasien kanker paru mengalami progression free survival atau PFS (masa tumor tidak berkembang) selama 10 bulan. Ini jauh lebih lama dibandingkan kemoterapi yang memiliki PFS sekitar 6 bulan.

Hasil pengamatan di RS Persahabatan pada pasien-pasien yang diberikan pembrolizumab, sudah berlangsung 21 bulan dan 50% pasien masih bertahan. “Masa 10 bulan terbebas dari gejala ini nampaknya tidak bermakna, tetapi bagi pasien akan sangat bermakna. Imunoterapi sangat memberikan harapan pasien, karena angka harapan hidup pasien jadi lebih panjang dibandingkan pasien yang hanya mendapatkan kemoterapi,” jelas dr. Sita.

Baca juga: Batuk Tak Kunjung Sembuh, Gejala Kanker Paru yang Dikira TB

Di Indonesia, pembrolizumab telah disetujui untuk pengobatan kanker paru KPKBSK pada stadium 3B dan 4. Menurut guideline, obat ini diberikan selama 2-3 siklus lalu dievaluasi. “Kalau hasilnya bagus, dilanjutkan terus sampai dua tahun,” terang dr. Sita. Bila ekspresi PD-L1 >50%, pengobatan cukup dengan imunoterapi saja. “Tapi kalau di bawah 50% bisa digabung dengan kemoterapi. Atau kemo dulu, bila tidak mempan, baru dilanjutkan dengan imunoterapi,” imbuhnya.

Ia melanjutkan, terapi kanker di Indonesia tidak kalah dengan di luar negeri. “Sama persis, obatnya ada di Indonesia. Pemeriksaan juga lengkap, malah lebih murah,” tandasnya. Kemoterapi dan beberapa jenis terapi target bahkan bisa diakses gratis karena sudah masuk BPJS. Untuk pembrolizumab belum ditanggung oleh BPJS. Bolehlah kita berharap bisa masuk BPJS, sehingga makin banyak pasien yang bisa mendapatkannya. (nid)