Gizi Buruk di Asmat, Cerminan Beban Ganda Kesehatan di Indonesia | OTC Digest
asma_campak_gizi_buruk

Gizi Buruk di Asmat, Cerminan Beban Ganda Kesehatan di Indonesia

Kabar bahwa 61 anak di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, meninggal dunia akibat campak dan gizi buruk sejak September 2017, sungguh menyesakkan dada. Wabah campak memang sedang menjangkit di sana. Sejak September hingga 11 Januari 2018, sebanyak 393 orang menjalani rawat jalan dan 175 lainnya dirawat inap di RSUD Asmat. Pemda setempat sudah menerjunkan tim kesehatan ke 23 distrik (kecamatan) yang meliputi 224 kampung, untuk mencegah wabah campak makin meluas.

Kenyataan ini mengentak kita, bahwa di samping kian maraknya kegemukan/obesitas yang melanda anak-anak maupun orang dewasa di Indonesia, kasus gizi buruk pun masih banyak terjadi, bahkan hingga merenggut nyawa anak-anak. Sungguh miris. Ketika kita yang hidup di kota besar begitu terbiasa dengan makanan lezat ala gerai siap saji hingga restoran mewah, saudara kita di pedalaman masih harus kepayahan untuk sekadar bisa memenuhi kecukupan gizi mereka.

Ya, ini adalah beban ganda (double burden) masalah kesehatan yang lazim dialami oleh negara berkembang. “Status gizi kurang dan kelebihan itu sama buruknya,” ujar dr. Reni Wigati, Sp.A dari RS Kanker Dharmais, Jakarta, pada sebuah kesempatan. Kala itu ia menyebutkan, cita-cita Indonesia bebas zigi buruk pada 2015 sudah tercapai, karena kasusnya <15%. Sekitar 15-20 tahun yang lalu, Indonesia menjadi perhatian dunia karena banyaknya kejadian gizi buruk. Mencuatnya kasus di Asmat bisa menjadi lampu kuning, bahwa kita belum sepenuhnya bebas dari masalah ini.

Ditambah lagi dengan wabah campak. Di saat sebagian orang di kota-kota besar menentang keras vaksinasi karena berbagai alasan hingga membuat program imunisasi tidak maksimal, saudara kita di pedalaman kesulitan mengakses vaksin. Kita yang memiliki akses mudah malah menolak sampai memunculkan KLB (kejadian luar biasa) difteri, sedangkan anak-anak di Kabupaten Asmat kehilangan nyawa karena tidak bisa mendapat vaksinasi.

Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Elizabeth Jane Soepardi mengutarakan bahwa cakupan vaksinasi campak di Kabupaten Asmat pada 2017 hanya 17%. Bukan karena mereka anti vaksin, melainkan lantaran lokasi daerah mereka sulit dijangkau. Tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan pun minim. Hanya ada 13 Puskesmas di sana dengan hanya tujuh dokter; padahal idealnya tiap kecamatan memiliki satu Puskesmas.  

(Baca juga: Bercermin dari Wabah Campak di Asmat, Ini Pentingnya Perlindungan Vaksin) 

Pemerintah melakukan berbagai upaya agar kasus gizi buruk dan wabah campak di Asmat bisa segera diatasi. Bantuan nutrisi dan obat-obatan pun mulai mengalir. Tentu tidak cukup sekadar bertindak saat terjadi kasus seperti ini. Masih begitu banyak masalah kesehatan yang perlu dibenahi.

Kita yang tinggal di kota besar dengan kemudahan akses terhadap makanan dan fasilitas kesehatan, bisa turut berperan serta dengan tidak menambah beban kerja pemerintah. Memperbaiki pola makan dan aktivitas fisik agar terhindar dari kegemukan serta tidak menyebarkan berita buruk yang menyesatkan soal vaksin, adalah langkah sederhana yang bisa dilakukan. Memang, mudah diucapkan daripada dipraktikkan. Tapi kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi? (nid)

_________________________________________________________

Ilustrasi: Pixabay