Disksiminasi Pasien Hepatitis B dan C Tidak Beralasan | OTC Digest

Disksiminasi Pasien Hepatitis B dan C Tidak Beralasan

Ditolak bekerja, tidak diangkat jadi karyawan tetap, atau batal naik jabatan karena positif hepatitis B atau C; keluhan semacam ini tidak jarang kita dengar. “Dalam satu tahun, rerata bisa ada sepuluh keluhan diskriminasi di tempat kerja yang kami terima,” ujar Marzuita dari Komunitas Peduli Hepatitis (KPH). Ini diungkapkannya dalam diskusi Hepatitis : Antara Akses Obat dan Diskriminasi Sosial yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta (29/09/2017). Ita, begitu ia biasa disapa, bahkan pernah menemukan surat salah satu SMA di Bogor mengenai persyaratan penerimaan, yang menyatakan bahwa calon murid harus bebas dari HIV/AIDS dan hepatitis. 

Ya, hepatitis B dan C masih distigma demikian negatif oleh masyarakat umum. Dianggap sebagai aib atau hal yang menakutkan. Tidak jarang, keluarga pasien berusaha menyembunyikan penyakit tersebut karena takut dikucilkan. “Mereka takut dianggap sebagai sumber penularan penyakit,” ujar Ita.

Disadari atau tidak, ini merupakan bentuk diskriminasi. Meski jamak, hal ini seharusnya tidak terjadi lagi. Apalagi di era ini, di mana pengobatan hepatitis, terutama hepatitis C, telah berkembang demikian pesat. Dan, diskriminasi di lingkungan kerja terhadap pasien hepatitis B dan C berupa penolakan bekerja, menyalahi aturan.

“Sudah ada Surat Edaran dari Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan ketenagakerjaan tahun 1997, tentang peniadaan hepatitis B dalam pemeriksaan kesehatan tenaga kerja,” tegas Dr. dr. Kasyunil Kamal, M.S, Sp.OK dari PERDOKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Okupasi). Ia melanjutkan, skrining hepatitis B dengan HBsAg bukanlah parameter yang harus dilakukan saat rekruitmen.

Dijelaskan oleh Ketua Komisi Ahli Hepatitis dari Kementrian Kesehatan Dr. dr. Rino A. Gani, Sp.PD-KGEH, HBsAg adalah protein yang diproduksi oleh virus hepatitis B. Bila protein ini ditemukan dalam darah (positif), berarti virus tersebut ada di dalam tubuh. Namun bukan berarti orang itu sakit, karena virus memproduksi HBsAg banyak sekali. “Sehingga walaupun virus dinyatakan tidur atau dorman, HBsAg akan tetap positif atau reaktif,” terangnya.

Adapun skrining hepatitis C dilakukan dengan pemeriksaan anti HCV di darah. Hasil yang positif menandakan orang tersebut memiliki hepatitis C.

Bila skrining hepatitis B atau C positif, tidak serta merta orang tersebut sakit. Perlu pemeriksaan lanjutan, misalnya dengan menilai enzim hati (SGOT/SGPT), yang menunjukkan peradangan aktif. Selama tidak ada peradangan, penderita hepatitis masih dapat bekerja seperti biasa.

Pekerjaan bidang tertentu memang memerlukan pemeriksaan hepatitis. Misalnya mereka yang bekerja di bidang medis karena langsung kontak dengan pasien, atau di bidang pengolahan makanan. Juga pada mereka yang akan bekerja di tempat berat atau berpaparan dengan bahan kimia, karena akan memperberat kerusakan hatinya.

Selain di bidang-bidang tersebut, seharusnya hepatitis tidak menjadi tolok ukur untuk penerimaan pegawai maupun promosi jabatan. “Apalagi kalau kerja kantoran di balik meja, apa masalahnya?” tegas Dr. dr. Rino.

Tidak perlu juga ketakutan bahwa penderita bisa menularkan penyakitnya kepada karyawan lain. Hepatitis B dan C tidak semudah itu menular. Perlu kontak darah atau perlukaan seperti transfusi darah, bergantian memakai jarum suntik/tato, atau pisau cukur. Tidak akan terjadi penularan melalui jabat tangan, toilet, bahkan peralatan makan.

Perusahaan juga tidak perlu meragukan performa calon karyawan/karyawan dengan skrining hepatitis positif. Mereka tidak berbeda dengan karyawan lain maupun yang mengalami hipertensi, diabetes atau kolesterol tinggi. Selama kondisi penyakit terkontrol, performa kerja tidak akan terpengaruh; tidak perlu distigma. Yang penting, kesehatan mereka harus selalu dimonitor dan dilakukan antisipasi semisal ada hal-hal yang bisa memberatkan penyakit. “Bukannya dipecat,” pungkas Dr. dr. Kasyunil.

Untuk menghilangkan diskriminasi pekerja dengan hepatitis, Dr. dr. Rino maupun Dr. dr. Kasyunil sepakat agar dibuat sebuah peraturan atau perundang-undangan, minimal keputusan bersama antara menteri Tenaga Kerja dan Menteri Kesehatan, agar penderita hepatitis mendapatkan hal yang sama di tempat kerja. Dengan demikian tidak ada lagi stigma negatif pada penyandang hepatitis. (nid)

 

Baca juga: Hepatitis: Skrining, Monitoring, Obati