Di Balik Gagalnya Target Cakupan Imunisasi MR di Indonesia | OTC Digest
vaksinai_MR_Indonesia

Di Balik Gagalnya Target Cakupan Imunisasi MR di Indonesia

Ermi Ndoen, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang

Hari ini merupakan hari terakhir vaksinasi campak (measles) dan rubella (MR) secara massal di luar Pulau Jawa. Walau batas akhir vaksinasi MR telah diperpanjang sebulan, dari 30 September menjadi 31 Oktober, program nasional untuk melindungi anak-anak dari ancaman virus campak dan rubella itu di ambang kegagalan.

Hingga kemarin dan hari ini dari 32 juta anak berusia 9 bulan sampai 15 tahun yang disasar vaksinasi di 28 provinsi luar Pulau Jawa rata-rata cakupan vaksinasi baru mencapai sekitar 66%, menurut sistem pelaporan online RapidPro yang didukung UNICEF Indonesia. Secara nasional, realisasi vaksinasi juga belum mencapai 70%. Padahal, target aman untuk mencapai kekebalan di masyarakat adalah 95% anak terimunisasi.

Cakupan vaksinasi MR di luar Pulau Jawa sampai 30 Oktober 2018. Database RapidPro Kemenkes/UNICEF Indonesia

Masalah terbesar dalam kampanye massal imunisasi MR kali ini adalah penolakan terhadap vaksin MR produksi Serum Institute of India (SII). Sebagian masyarakat menolak vaksin ini sesudah beredar di media sosial berita palsu tentang akibat negatif imunisasi MR dan isu haram vaksin MR–belakangan Majelis Ulama Indonesia membolehkan karena darurat.

Padahal, program imunisasi atau vaksinasi merupakan salah satu kemajuan teknologi kesehatan yang dianggap banyak menyelamatkan nyawa manusia pada era modern. Pusat Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Atlanta Amerika Serikat atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Atlanta, menempatkan vaksinasi pada posisi teratas 10 penemuan terbesar dalam kesehatan masyarakat dalam kurun waktu 100 tahun (1900-1999).

Imunisasi ditempatkan pada posisi teratas karena memberi dampak pada penurunan angka kematian, penyakit, dan kecacatan di Amerika Serikat dalam 100 tahun terakhir. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan bahwa imunisasi merupakan salah satu inisiatif bidang kesehatan masyarakat yang paling sukses, yang dapat mencegah dua sampai tiga juta kematian per tahun akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti campak, difteri, tetanus, dan pertusis (rejan batuk).

Tapi di Indonesia, informasi dan kabar palsu tentang vaksin MR yang dipercaya oleh sebagian masyarakat telah menghambat capaian maksimal program vaksinasi.

Kontroversi vaksin MR

Perdebatan mengenai vaksin sudah lama berlangsung. Pro dan kontra program imunisasi dalam konteks agama, tidak hanya terjadi di Indonesia atau pada kelompok Muslim. Hampir di seluruh dunia, kontroversi ini pernah dan selalu ada. Kondisi ini sudah terjadi sejak awal mula vaksin diperkenalkan.

Ketika pada 1796 vaksin smallpox untuk anticacar pada manusia diperkenalkan oleh Edward Jenner, seorang dokter dan ilmuwan yang menjadi salah seorang perintis vaksin pertama di dunia, terdapat penolakan terhadap vaksin pada saat itu. Para pendeta lokal di Inggris periode Victoria percaya bahwa vaksin itu “tidak Kristiani” karena berasal dari hewan sehingga mereka menolaknya. Penolakan ini juga datang dari kalangan masyarakat menengah dan para pekerja.

Ada yang percaya cacar disebabkan oleh materi yang membusuk di atmosfer sehingga vaksin tidak bermanfaat. Secara politik, banyak orang keberatan dengan vaksinasi karena itu melanggar kebebasan pribadi. Pemerintah Inggris saat itu akhirnya membuat kebijakan bahwa vaksin smallpox wajib. Lewat sebuah undang-undang pada 1853, vaksinasi smallpox diwajibkan bagi bayi hingga 3 bulan; dan pada 1867 menjadi menjadi wajib untuk semua anak hingga 14 tahun. Pemerintah Inggris menjatuhkan hukuman denda 20 Shillings (dengan nilai tukar saat ini setara dengan sekitar Rp8 juta) bagi yang menolak vaksinasi saat itu.

Kontroversi yang sama juga terjadi di Amerika pada awal abad ke-19. Bukan hanya pada vaksin smallpox tapi juga vaksin Diphtheria, Tetanus, and Pertussis (DTP) dan Measles, Mumps, and Rubella (MMR).

Ketegangan antara agama dan program kesehatan tidak hanya di bidang imunisasi. Di Filipina, program kesehatan reproduksi, keluarga berencana dan kontrasepsi terhambat oleh gereja Katolik. Masalah serupa muncul di negara-negara Islam.

Contoh lain di Amerika, ada kelompok-kelompok penyembuhan iman berbasis ilmuwan Kristen yang percaya bahwa mereka dapat menyembuhkan semua hal hanya dengan doa, tanpa obat-obatan. Karena itu, banyak dari para kelompok ini sangat menentang program kesehatan masyarakat termasuk vaksinasi.

Lapisan bawang masalah

Pada 2018, berbagai upaya untuk mendukung kesukesan kampanye MR telah ditingkatkan. Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Muhammadiyah pusat di level nasional, provinsi, dan kabupaten menyatakan mendukung. Berbagai pihak juga memberikan dukungan politis dan komitmen untuk membuat kampanye MR sukses.

Kementerian Dalam Negeri sudah beberapa kali mengeluarkan surat dan instruksi kepada semua kepala daerah untuk memastikan Kampanye MR sukses. Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan juga berbagai organisasi profesi kesehatan (Ikatan Dokter Anak Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Perawat Nasional Indonesia, dan Ikatan Bidang Indonesia) juga ikut mendukung kampanye ini.

Majelis Ulama Indonesia, organisasi ulama tertinggi di Indonesia juga mendukung melalui Fatwa No 33 Tahun 2018 yang menyatakan vaksinasi MR dibolehkan karena kondisi darurat.

Cakupan vaksinasi MR secara nasional sampai 31 Oktober 2018. Database RapidPro Kemenkes/UNICEF Indonesia

Pada 2017, ketika isu haram-halal vaksin MR muncul, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk memberi pemahaman mengenai kandungan vaksin MR. Berbagai pendekatan dan diskusi dengan Majelis Ulama Indonesia, serta promosi yang luas ke masyarakat saat itu berhasil baik di Pulau Jawa.

Namun kegiatan kampanye tahun 2018 tidak berhasil mencapai sukses 2017. Kecuali Provinsi Papua Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung, cakupan MR sangat rendah di hampir semua daerah luar Jawa. Penolakan terhadap vaksin MR di berbagai tempat di luar Pulau Jawa sangat kuat. Penolakan ini tidak hanya dari orang tua, tapi sampai level pemimpin agama. Bahkan para kepala daerah yang penduduknya mayoritas Muslim pun ikut menyatakan penundaan terhadap kampanye IMR.

Fatwa MUI dianggap sebagai senjata pamungkas dan diharapkan menghentikan penolakan terhadap vaksin MR. Kenyataannya keluarnya fatwa ini belum membawa dampak signifikan. Sebagian masyarakat menolak mengikuti fatwa MUI tersebut. Pengaruh MUI di level nasional ternyata tidak berdampak di level provinsi dan kabupaten.

Para petinggi MUI di beberapa provinsi dan kabupaten terbelah antara mendukung dan tidak mendukung fatwa tersebut. Sebagian pemimpin agama di tingkat lokal tidak sejalan dengan MUI pusat. Efek terbelahnya penafsiran dan dukungan terhadap Fatwa MUI pusat di tingkat lokal bisa dilihat, setidaknya, di Aceh dan mayoritas provinsi di Sumatra, serta beberapa daerah di Sulawesi dan Kalimantan. Di daerah-daerah ini, cakupan vaksinasinya rendah.

Masyarakat lokal setia mengikuti pemimpin setempat. Dan sebagian masyarakat juga percaya berita palsu soal MR yang marak.

Saya menghadiri beberapa kunjungan dan tatap muka dengan dengan pemuka agama dan masyarakat di Kalimantan dan beberapa sekolah di Kota Kupang. Saya menemukan ada kecurigaan dari masyarakat setempat bahwa fatwa membolehkan vaksin MR tersebut mengandung kepentingan politik dan bukan sebuah kedaruratan dalam segi beragama. Alasan darurat kesehatan belum sepenuhnya diterima sebagai “dlarurat syar’iyyah” (ada kondisi keterpaksaan).

Ketika berita palsu mengenai efek negatif MR menyebar di media sosial, Kementerian Kesehatan memberi bantahan. Tapi berita palsu tersebut sudah meluas di masyarakat. Dalam beberapa kunjungan lapangan, saya menemukan adanya ketakutan terhadap vaksin MR di kalangan murid Muslim. Ada yang beranggapan bahwa “setelah divaksinasi MR, salatnya tidak diterima Allah selama 40 hari karena bahan vaksin mengandung zat haram”.

Perlu ketegasan pemerintah

Seperti di berbagai negara lain, kepentingan perlindungan terhadap masyarakat lebih utama dari kepentingan kelompok atau golongan. Selain pendekatan yang intensif kepada para kelompok penolak vaksin, perlu ketegasan pemerintah untuk membuat regulasi yang berlaku sama untuk semua masyarakat.

Negara harus hadir untuk melindungi semua masyarakat tanpa memandang kelompok atau golongan. Imunisasi sudah saatnya dibuat sebagai syarat masuk sekolah untuk memberikan perlindungan yang aman bagi anak sedini mungkin.

Meski waktu telah berubah, pengaruh emosi, agama, politik, atau budaya masih mengakar kuat dalam masyarakat yang menolak vaksin. Penolakan kelompok tertentu terhadap vaksin relatif konsisten sejak Edward Jenner memperkenalkan vaksinasi lebih dari dua abad lalu.

Karena itu negara harus tegas mengatur dan memberi pemahaman yang benar. Pendekatan kultural, dialog dengan tokoh agama hingga ke level paling bawah dan kekuatan regulasi pemerintah, adalah kunci keberhasilan program imunisasi pada masa depan.

The Conversation

Ermi Ndoen, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

________________________________________________

Ilustrasi: Designed by Freepik