Terapi Anak Epilepsi, Dari Obat sampai Fisioterapi | OTC Digest

Terapi Anak Epilepsi, Dari Obat sampai Fisioterapi

Fokus utama penanganan epilepsi yakni kejang harus terkontrol. Bila kejang tidak terkontrol, atau frekuensi makin sering dengan durasi makin lama, akan mengganggu perkembangan otak.  

Dengan obat, sekitar 70% serangan bisa dikendalikan sepenuhnya, 20-25% serangan menjadi lebih ringan dan jarang. Menurut Dr. dr. R.A Setyo Handryastuti, Sp.A (K) dari FK Universitas Indonesia, Jakarta, obat antiepilepsi harus diminum sejak didiagnosis hingga 2 tahun bebas kejang.

Setelah itu, obat bisa dihentikan bila epilepsi dinyatakan terkontrol. Ada beberapa tipe epilepsi  yang penderitanya perlu minum obat seumur hidup, tapi sangat jarang.

Setelah didiagnosis, perlu kontrol 2 minggu kemudian untuk menilai efektivitas obat, dilanjutkan pemeriksaan rutin 1x sebulan. Setelah 3-4 bulan bebas kejang, kontrol menjadi 2-3 bulan sekali. “Kontrol untuk memantau efek samping obat, secara klinis dan lab. Paling lama tiap 6 bulan, dilakukan pemeriksaan darah,” terang dr. Handry.

Multi terapi

Terapi lain, disesuaikan dengan kondisi dan komorbiditas yang dimiliki. Anak dengan komorbiditas (penyakit penyerta) perkembangan terlambat, membutuhkan program rehabilitasi yang disesuaikan dengan kebutuhan anak.

Terapi fisioterapi dapat memperbaiki fungsi motorik dan gerak. Terapi sensori integrasi untuk melatih kepekaan dan konsentrasi, terapi wicara untuk keterlambatan bicara, dan terapi okupasi bila ada gangguan fisik dan/atau mental.

Bila ada gangguan kognitif, anak perlu konsultasi ke psikolog. Lalu diputuskan pendidikan yang tepat untuk anak. Terapi mencakup okupasi, wicara, atau remedial, yang memimbing anak menguasai logika dasar dan kemampuan berpikir.

Pada komorbiditas gangguan belajar dan ADHD (attention deficit and hyperactivity disorder), kadang tampilannya mirip: prestasi anak di sekolah tidak mengalami kemajuan, dan ada masalah dalam menerima pelajaran. Bila anak mengalami problem belajar, perlu dibawa ke psikolog untuk menentukan program pendidikan yang sesuai, misalnya masuk sekolah khusus atau pengajaran dengan metode tutoring.

Untuk ADHD, perlu terapi dan mungkin juga obat. Obat ADHD tertentu bersifat stimulan sehingga menurunkan ambang kejang. “Kalau obat untuk ADHD menyebabkan kejang bertambah sering, harus diubah. Jangan sampai yang epilepsinya sudah terkontrol, sering kejang lagi,” ujar dr. Handry.

Faktor psikososial berkaitan dengan masalah perilaku dan emosi pada penyandang epilepsi, dengan komorbiditas depresi dan kecemasan. Misal tidak teratur berobat, kejang tidak terkontrol, dan kondisi sosial ekonomi. Pelu dilakukan pendekatan psikososial dan akan dinilai, apakah orangtua dan lingkungan memahami kondisi anak.

Bila cara ini tidak berjalan baik, anak perlu menjalani terapi kognitif - perilaku, yakni mengubah cara berpikir. “Banyak anak epilepsi usia remaja berpikir negatif terhadap diri sendiri, sehingga memengaruhi emosi mereka. Ujungnya, anak tidak bisa menyesuaikan diri (maladaptif),” papar Dr. dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ (K) dari FKUI/RSCM. Misalnya ketika teman-teman berkumpul, ia menarik diri.

Obat adalah pilihan terakhir, saat pendekatan psikososial tidak menyelesaikan masalah. Bila ada depresi atau kecemasan, dokter bisa memberi obat antidepresan.

Peran keluarga dan lingkungan

Tekanan yang diterima anak epilepsi umumnya besar, terutama mereka dengan komorbiditas. Bila masyarakat dan sekolah tidak bisa menerima, serta keluarga tidak mendukung bahkan cenderung memojokkan, anak bisa stres.

“Stres meningkatkan kadar kortisol pada otak, dan menurunkan ambang kejang anak, sehingga anak lebih mudah kejang,” papar dr. Tjhin. Penting bagi orangtua dan keluarga untuk menerima kondisi anak dan mendukungnya secara penuh.

Baca juga : Mendeteksi Gangguan Psikologis Depresi Pada Anak Epilepsi

Beri anak kasih sayang, rasa aman dan nyaman dalam keluarga tapi jangan berlebihan (over protektif). Kadang, orangtua dan guru menerapkan standar yang lebih rendah pada anak epilepsi. “Tidak harus selalu seperti itu. Pada anak epilepsi idiopatik yang normal, terapkan standar yang sama dengan anak lain. Jangan dibedakan, kecuali pada kasus epilepsi berat,” tegas dr. Handry. Standar ganda membuat anak menerapkan standar yang lebih rendah pada diri sendiri daripada anak lain.

Jangan kurung anak di rumah karena malu atau khawatir terhadap keselamatannya. Biarkan ia bersosialisasi dengan teman-teman dan lingkungan, agar dikenal dan bisa diterima keberadaannya.

Dengan pengobatan yang sesuai, epilepsi bisa terkontrol. Penulis Sejarah Tuhan Karen Armstrong, penulis Rusia Fyodor Dosteywevsky, Joan of Arc dan atlet sepak bola Australia Paul Wade, hanya sebagian kecil dari penyandang epilepsi yang berhasil menjadi ‘orang besar’.  (nid)