Plus Minus BLW | OTC Digest

Plus Minus BLW

Sebenarnya, BLW bukan barang baru. “BLW sudah ditemukan sejak 10 – 15 tahun oleh perawat di Inggris Gill Rapley,” ujar dr. Lucia Nauli Simbolon, Sp.A dari RSAB Harapan Kita, Jakarta. Studi observasional menyatakan, BLW bisa mendorong terbentuknya pola makan yang lebih baik, sehingga bayi memiliki berat badan (BB) yang lebih sehat. Namun hubungan sebab akibatnya belum jelas. Sifatnya pun observasional, “Penelitian yang derajatnya paling rendah.”

Argumen yang digunakan untuk mendukung BLW antara lain kemampuan motorik bayi mungkin sudah berkembang di usia 6 bulan, dan mendorong bayi untuk menggenggam makanannya sendiri akan makin merangsang perkembangan motoriknya. Juga akan merangsang ketertarikannya mengeksplorasi makanan. Argumen lain, kemampuan bayi untuk mencerna makanan selain puree mungkin juga sudah berkembang. “Namun ini semua masih dugaan, dan belum ada penelitian skala besar dalam bentuk randomized controlled trial,” imbuh dr. Lucia.

Dalam dunia kedokteran, untuk menentukan apakah suatu obat/metode aman, harus dilakukan penelitian dulu. Rekomendasi harus berdasarkan bukti ilmiah. Misalnya dibuktikan dengan metode randomized controlled trial: sejumlah anak dibagi menjadi dua kelompok secara acak; sebagian mendapat metode konvensional dan sebagian lagi BLW. Selanjutnya mereka diobservasi selama waktu tertentu, dan dibandingkan hasilnya antara kedua kelompok. Ini belum dilakukan pada BLW.

 

Kekhawatiran mengenai BLW

Ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran kalangan medis mengenai BLW, meski ada juga dokter anak yang merekomendasikannya. Kekhawatiran utama yakni kecukupan nutrisi. Berdasarkan ketentuan dari Organisasi Kesehatan Dunia WHO, selewat 6 bulan bayi harus mulai mendapat makanan tambahan karena ASI eksklusif saja tidak mencukupi kebutuhan nutrisinya. “MPASI yang diberikan harus memiliki kandungan energi, makronutrien dan mikronutrien yang mencukupi,” ujar dr. Lucia.

MPASI tidak cukup hanya dengan sayur dan buah. Terlebih di Indonesia, di mana angka kekurangan (defisensi) zat besi cukup banyak. “Kita harus sisipkan unsur protein hewani yang banyak mengandung zat besi, misalnya daging dan ikan,” tambahnya. Ia menilai, pemberian daging dan ikan dengan metode BLW mungkin agak sulit dilakukan. Serat daging yang kasar, sulit dikunyah oleh anak, dan ikan banyak durinya. Namun demikian, Andien sukses memberikan daging cincang kepada Kawa. Cara ini bisa ditiru, atau juga dengan fillet ikan yang dikukus atau dipanggang.

Baik BLW maupun metode konvensional menganjurkan bahwa MPASI mulai diberikan saat anak mulai menunjukkan tanda-tanda siap makan, biasanya di usia 6 bulan. Di usia ini, umumnya gigi belum tumbuh atau baru tumbuh dua di bagian bawah, dan kemampuan oromotoriknya belum berkembang sempurna. Ia belum bisa mengunyah makanan dengan baik. Dengan metode BLW, mungkin bayi hanya mendapat sedikit sari makanan dari yang berhasil diisapnya, ditambah sedikit potongan-potongan kecil yang ditelannya. Dikhawatirkan bayi mengalami kekurangan nutrisi.

Pendapat senada diutarakan oleh spesialis kedokteran gigi anak drg. Andria Diarti, Sp.KGA. “Kemampuan bayi menghaluskan makanan pasti terkait dengan dia punya gigi atau tidak. Di awal, memang bagusnya jangan yang berbentuk dulu karena dia mengunyah hanya dengan gusi,” paparnya. Ia menambahkan, makanan padat yang diberikan melalui BLW memang akan menstimulasi lengkung rahang dan pertumbuhan gigi, “Namun, nutrisi juga harus cukup untuk mendukung pertumbuhan gigi.”

Kekhawatiran lain yakni risiko tersedak. Dijelaskan oleh dr. Lucia, kemampuan lidah untuk menggeser makanan ke kiri - kanan, baru mulai berkembang saat bayi berusia 8 bulan. “Dalam setiap pemberian makanan pasti ada risiko tersedak,” tegasnya. Berbagai blog yang menulis pengalaman menjalani BLW juga mengkhawatirkan hal ini. Terutama ketika gigi sudah tumbuh; finger food yang diberikan bisa digigit putus dalam ukuran besar, dan membuat bayi tersedak.

Hal ini diulas oleh Gill Rapley dalam panduan BLW. Ia justru menyebutkan bahwa risiko tersedak lebih sedikit bila bayi mampu mengendalikan apa yang masuk ke mulutnya, ketimbang bila disuapi. Alasan yang diungkapkannya, kemampuan bayi menggenggam makanan dan memasukkannya ke mulut akan diikuti dengan kemampuan mengunyah, yang kemudian berlanjut dengan kemampuan menelan makanan.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam BLW yang umumnya terjadi adalah kelolodan (gagging) dan bukan tersedak (choking). Saat kelolodan, ukuran makanan terlalu besar sehingga tersangkut di kerongkongan (saluran yang menghubungkan mulut ke lambung). Menurut Rapley, selama bayi dalam posisi duduk,  hal ini tidak berbahaya. Ia akan terbatuk-batuk, berusaha mengeluarkan makanan yang tersangkut. Ini justru akan membuatnya belajar untuk menggigit makanan dalam potongan lebih kecil, mengunyah, menggerakkan makanan di dalam mulut, lalu menelannya.

Adapun tersedak adalah makanan masuk ke tenggorokan (saluran nafas) dan menghambat jalan nafas. Sangat berbahaya karena bayi bisa kekurangan oksigen. Dr. Lucia berpendapat, ibu yang ingin menerapkan BLW hendaknya memiliki kemampuan untuk melakukan metode Heimlich sehingga bila anak tersedak, bisa membantu mengeluarkan makanan yang menyumbat tenggorokannya.

Pada postingan Andien di Instagram, cukup banyak pula yang mengkawatirkan terjadi obstruksi usus (usus tersumbat) akibat BLW. Obstruksi usus paling sering disebabkan oleh invaginasi atau intususepsi, di mana usus “terlipat”. Pada kondisi ini, ada bagian usus yang terlipat dan meluncur masuk ke bagian usus di dekatnya, sehingga usus tersumbat.

Seorang dokter di Jakarta, dr. Kusumandaru, menulis di akun Twitternya (@aan__) mengenai hal ini. Menurutnya, ukuran dan gerakan usus bayi tidak sama dengan dewasa. Makanan padat bisa tersangkut di usus bayi. “Krn tekanan obstruksi yang tinggi, usus ikut melipat ke dalam. Terapi hanya dgn operasi”, begitu cuitnya.

Berdasarkan penelusuran OTC Digest, sebagian orangtua yang menerapkan metode BLW membatasi minum pada bayi, atau malah tidak memberikannya sama sekali. Mereka mengandalkan ASI sebagai asupan cairan, masih seperti masa ASI eksklusif di mana bayi hanya mendapat ASI, bahkan tanpa tambahan air. Namun bila anak sudah mendapat makanan, apalagi makanan padat, tentu anak perlu minum untuk membantu pencernaannya.  (nid)

 

Bersambung ke: Bubur Saring Bukan Berarti Disuapi