Pengobatan, Terapi Utama dan Suportif | OTC Digest

Pengobatan, Terapi Utama dan Suportif

“Hingga saat ini, belum ada obat yang bisa menyembuhkan multiple sclerosis (MS),” tutur dr. Riwanti Estiasari, Sp.S, Sekretaris Yayasan Multiple Sclerosis Indonesia (YMSI). Namun, pasien perlu menjalani pengobatan untuk memperlambat pemburukan/progresi penyakit. Pengobatannya berbeda pada fase relaps dan fase remisi.

Terapi relaps hanya diberikan saat relaps atau serangan. Obatnya berupa kortikosteroid misalnya methylprednisolone, yang diberikan secara intravena (infus) untuk mengurangi peradangan pada saraf. Dengan atau tanpa diobati, kekambuhan akan hilang dengan sendirinya. Namun bila tidak diobati, makin lama kerusakan myelin makin berat. “Dengan terapi, kita berharap bahwa kerusakan tidak menjadi berat. Relaps-nya tidak lama dan cepat membaik,” ujar dr. Riwanti. 

Pengobatan bisa menimbulkan efek samping seperti insomnia (susah tidur), perubahan mood, kenaikan tekanan darah dan retensi cairan. Namun umumnya hanya sementara, dan pengobatan sendiri tidak berlangsung lama, “Hanya 6-7 hari. Setelah itu dihentikan, dan dilanjutkan dengan terapi jangka panjang,” papar dr. Riwanti.

 

Terapi jangka panjang

Terapi jangka panjang menggunakan obat yang ada dalam kelompok disease modifying therapy. “Obat ini bekerja dengan memodifikasi sistem imun. Yang tadinya berubah sifat menyerang sel saraf, dimodifikasi oleh obat agar tidak menyerang lagi,” terang dr. Riwanti. Di Indonesia, yang tersedia baru obat lini pertama, misalnya interferon beta (IFNβ) diberikan secara suntik, 3x seminggu.

Meski obat tidak bisa menyembuhkan, diharapkan dapat menghambat progresivitas penyakit dengan cara memperlambat kerusakan saraf, mencegah relaps dan memperpendek durasi relaps. Diharapkan relaps akan jauh berkurang. Kalaupun terjadi relaps, “Sebentar saja dan fase remisinya memanjang.” Relaps sebulan sekali misalnya, bisa diperlambat jadi hanya sekali setahun.

Di Indonesia, ada beberapa kendala untuk terapi jangka panjang MS. Belum banyak neurolog (dokter spesialis saraf) yang mau memberikan disease modifying therapy. Alasannya,  belum yakin benarkah pasiennya menderita MS, sehingga ragu melanjutkan ke terapi jangka panjang.

Selain itu, pilihan obatnya di Indonesia terbatas. Terapi lini kedua yang ditengarai dapat digunakan untuk MS tipe primary progressive (PPMS), belum ada. Hanya tersedia obat lini pertama, sehingga pasien dan dokter tidak memiliki banyak pilihan. Obatnya sangat mahal dan tidak ditanggung JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dari BPJS. Apalagi, obat mungkin perlu diminum seumur hidup.

Pengobatan harus disertai pemeriksaan secara berkala, untuk mengevaluasi progresivitas penyakit. Pasien disarankan melakukan pemeriksaan MRI kepala minimal 1x setahun. Efek samping juga perlu dipantau, karena terapi dilakukan dalam jangka panjang. “Manfaat terapi harus lebih besar daripada efek sampingnya,” tandas dr. Riwanti.

 

Terapi suportif

Pengobatan MS tidak cukup hanya dengan obat-obatan dan pemeriksaan MRI secara berkala. “Perlu terapi suportif dan holistik,” ucap dr. Riwanti. Misalnya terapi fisik atau okupasi untuk latihan peregangan (stretching) dan kekuatan. Tidak jarang, pasien MS mengeluh lelah, lemah anggota gerak tubuh (tangan, kaki), berkurangnya koordinasi dan lain-lain, yang membatasi kemampuan mereka beraktivitas. Terapi seperti ini diharapkan dapat membantu penderita MS tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari.

Keluhan nyeri, kaku/kejang otot bisa muncul terutama di kaki. Bila terjadi, mungkin pasien membutuhkan obat untuk relaksasi otot. Obat-obatan lain perlu untuk mengatasi gejala yang muncul. Misalnya obat untuk mengatasi fatigue, depresi, nyeri, disfungsi seksual, inkontinensia (tidak mampu mengontrol) urin dan buang air besar (BAB), dan lain-lain.

Terapi alternatif misalnya meditasi, yoga, relaksasi, massage dan akupunktur. Tak lain untuk membantu memelihara kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa. Seperti latihan self-healing yang dijalani Elisabeth. “Pasien harus didukung dari berbagai aspek, ” imbuh dr. Riwanti. Menurut guidelines (pedoman), suplemen herbal seperti ginko biloba, sengat lebah dan terapi magnet tidak disarankan.

 

Pola makan dan olahraga

Pada dasarnya, tidak ada pantangan makan. “Yang penting pola makan sehat,” ujar dr. Riwanti. Dalam laman www.webmd.com disebutkan, tidak ada diet khusus MS yang terbukti memperbaiki gejala. Intinya pola makan diet seimbang, dengan rekomendasi makanan rendah lemak dan tinggi serat, seperti diet sehat umumnya. Beberapa ahli berpendapat, diet yang direkomendasikan Perhimpunan Kanker Amerika ACS dan Asosiasi Jantung Amerika AHA,  bermanfaat bagi pasien MS.

Belum terbukti, menghindari lemak jenuh dan produk susu dengan lemak penuh (full fat) dapat mencegah kekambuhan. Namun, mengurangi asupan lemak jenuh dan lebih memilih produk susu rendah lemak dapat menjaga kesehatan secara umum. Usahakan menu terdiri atas beragam sayur dan buah, biji-bijian utuh (yang masih mengandung kulit ari), kacang-kacangan, ikan dan unggas tanpa kulit. Untuk rasa manis, pilih buah keitmbang makanan manis seperti kue. Hal ini untuk mencegah berat badan (BB) naik, yang dapat meningkatkan keluhan fatigue.

Minuman yang mengandung aspartam, kafein dan alkohol bisa mengiritasi kandung kemih. Menurut panduan nutrisi NMMS (National Multiple Sclerosis Society), pasien MS dengan keluhan pada kandung kemih, sebaiknya menghindari minuman ini. Namun bahwa aspartam menyebabkan MS hanya mitos.

Tidak harus menghindari gluten (protein pada gandum). Studi yang dipublikasi BMC Neurology melaporkan bahwa sebagian pasien MS dan keluarga dekatnya memiliki intoleransi gluten lebih tinggi, ketimbang populasi umum. Namun perlu atau tidaknya menghindari gluten, tergantung kondisi tiap orang.

Bagaimana dengan olahraga? “Selama bisa menjaga kesehatan, tidak masalah,” ujar dr. Riwanti. Apapun pilihan olahragamya, yang penting disesuaikan dengan kemampuan, kesukaan dan kenyamanan pasien. Dan, tidak boleh terlalu capek.

Belum ada pencegahan untuk MS maupun mencegah untuk kambuh. Ada beberapa kebiasaan yang dicurigai meningkatkan risiko, misalnya merokok. “Tapi itu umum; semua penyakit seperti itu,” imbuh dr. Riwanti. Yang penting, upayakan menjalankan pola hidup sehat dan tidak terlalu stres. (nid)

 

Ilustrasi: Pixabay