Pengobatan Gangguan Irama Jantung | OTC Digest

Pengobatan Gangguan Irama Jantung

Gangguan irama jantung atau fibrilasi atrium (FA) diobati dengan beberapa cara. Mulai dengan penggunaan obat pengencer darah sampai terapi ablasi.

Fibrilasi atrium atau gangguan irama jantung selain ditunjukkan dengan detak jantung/nadi yang tidak beraturan – bisa dideteksi dengan meraba nadi- juga menunjukkan gejala lain, seperti cepat lelah, sesak napas, dada terasa nyeri dan atau seperti  tertekan, serta kesulitan mengerjakan pekerjaan sehari-hari.

“Kadang ada rasa pusing, dan melayang. Ini terjadi saat detak melambat atau berhenti sesaat (pause). Jika berhentinya lebih dari 4 detik penderita bisa pingsan,” tutur Prof. Dr. dr. Yoga Yuniardi, SpJP(K), FIHA, FasCC, Guru Besar Ilmu Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI.

Saat seseorang terdiagnosa fibrilasi atrium, terdapat berbagai macam pengobatan dan terapi yang bisa dilakukan. Diutamakan menggunakan terapi obat-obatan. Terdapat 3 macam obat yang dipakai. Pertama, antikoagulan (antipembekuan) yang berfungsi mengencerkan darah, untuk mencegah stroke. Kedua, obat untuk mengendalikan laju irama jantung. Dan ketiga, obat untuk mengembalikan irama normal jantung.

Baca juga : Deteksi Gangguan Irama Jantung dengan Meraba Nadi

Salah satu pengencer darah (antikoagulan) yang sudah masuk skema BPJS kesehatan adalah Warfarin. Sayangnya efikasi obat ini dipengaruhi oleh makanan; vitamin K mengganggu efektivitas kerja obat. Dan harus mencapai target pengenceran (diukur dalam international normalized ratio / INR) tertentu supaya berdampak ke tubuh.

“Harus mencapai skor INR antara 2-3. Jika kurang dari 2 risiko stroke tetap ada, sementara lebih dari 3 muncul risiko efek samping perdarahan,” jelas Prof. Yoga. “Walau ada risiko perdarahan, obat ini tetap harus diberikan dibandingkan dengan bahaya kelumpuhan akibat stroke yang lebih besar.”

Saat ini telah beredar obat antikoagulan oral baru yang efikasinya lebih baik yakni Rivaroxaban. Obat ini tidak dipengaruhi makanan, risiko perdarahan dan reaksi silang antarobat minimal. Sayangnya obat ini belum masuk skema BPJS kesehatan untuk penanggulangan FA, namun masuk untuk kelainan pembuluh vena (deep vein thrombosis) yang dampak dan kejadiannya lebih sedikit.

Perlu dipahami setelah mendapatkan pengobatan, kemudian kejadian FA-nya menurun, bukan berarti risiko stroke hilang. Risiko stroke berkaitan dengan ada tidaknya penyakit penyerta lain, seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung koroner, dll. Penderita fibrilasi atrium tetap harus kontrol ke dokter dan melakukan pemeriksaan nadi; sebagai upaya deteksi.

Bila obat tidak berhasil, beralih pada terapi nonfarmakologi. Pertama, dengan pemasangan alat LAA (Left Atrial Appendage) Closure, untuk menutup “kuping” jantung sehingga gumpalan darah terkurung di dalamnya. Kedua, menggunakan teknik ablasi radiofrekuensi, untuk mematikan (membakar) sumber-sumber listrik yang menyebabkan gangguan irama jantung.

“Normalnya diusahakan terapi obat dulu baru nonfarmakologi. Tapi pada pasien < 60 tahun, langsung pada tindakan ablasi dirasa lebih efektif,” ucap Prof. Yoga. Setelah tindakan ablasi, irama jantung akan kembali normal. (jie)

Baca juga : Mencegah Stroke Pada Penderita Gangguan Irama Jantung