Obat Tidak Menghilangkan Herpes, tapi Efektif Mencegah Kekambuhan | OTC Digest

Obat Tidak Menghilangkan Herpes, tapi Efektif Mencegah Kekambuhan

Secara umum, herpes di usia dewasa tidak “berbahaya”, dalam artian tidak menyebabkan kematian, kanker, dan sebagainya. Namun penyakit ini tidak bisa disembuhkan. “Sekali virus herpes masuk ke tubuh, itu kontrak seumur hidup sampai ditemukan obatnya,” sesal Dr. dr. Wresti Indriatmi, Sp.KK(K), M.Epid.

Meski tidak mematikan, herpes—terutama di area genital—sangat mengganggu kualitas hidup penderita. Selain nyeri yang ditimbulkannya, juga secara finansial karena pengobatannya cukup menguras biaya. Saat penyakit kambuh, produktivitas pun berkurang karena tidak bisa masuk kantor.

Yang paling penting, herpes genital menimbulkan beban luar biasa terhadap psikologis penderita. Selain itu juga mengganggu hubungan seksual pada orang yang sudah berpasangan; takut melakukan hubungan intim karena takut menulari pasangan. Ada yang sampai bercerai, atau tidak jadi menikah gara-gara terkena herpes genital. “Dampak sosialnya sangat besar,” ujar dr. Anthony Handoko, Sp.KK, FINSDV, Direktur Klinik Pramudia.

Hingga saat ini, belum ada obat yang bisa membunuh virus Herpes simplex dalam tubuh, yang umumnya bersembunyi di saraf. Obat yang digunakan yakni antivirus, seperti acyclovir, valacyclovir, dan famycyclovir. Namun, obat bukan utnuk menyembuhkan. “Obat hanya untuk mengurangi rasa sakit, mempercepat penyembuhan, dan mengurangi kekambuhan,” jelas dr. Anthony.

Ada tiga jenis terapi: episodik, supresi, serta pada pasien HIV+, ibu hamil, dan neonatus (bayi baru lahir). “Terapi episodik dilakukan hanya saat penyakit kambuh,” terang Dr. dr. Wresti. Idealnya, pengobatan mulai diberikan saat gejala awal mulai timbul. Misalnya rasa seperti menggelitik (tingling), terbakar, atau baal. Teorinya demikian. Namun pada praktiknya, kadang gejala awal tidak terasa, atau diabaikan oleh penderita. Padahal prinsipnya makin cepat awal diobati, keparahan gejala bisa diminimalkan. Terapi episodik diberikan singkat, hanya sekitar 5 hari.

Terapi supresi dilakukan bila dalam satu tahun terjadi kekambuhan >6x. Obatnya sama dengan terapi episodik, hanya saja durasinya lebih lama. Pada terapi supresi, obati diminum setiap hari selama satu tahun.

Adapun terapi untuk pasien HIV+, ibu hamil, dan neonatus membutuhkan penanganan yang lebih kompleks. Infeksi herpes dan HIV bisa saling memperburuk satu sama lain. Pada penderita herpes aktif yang juga HIV+, sistem imun makin drop sehingga virus HIV berkesempatan untuk bereplikasi lebih banyak dan cepat, yang pada akhirnya bisa berujung pada AIDS. Sebaliknya, herpes lebih mudah kambuh, dengan episode kekambuhan lebih lama dan lebih berat pada pasien HIV+.

Herpes berbahaya bagi janin bila ibu terinfeksi pertama kali saat hamil. “Kemungkinannya 10-15% ibu menularkan herpes ke janin melalui plasenta,” ujar Dr. dr. Wresti. Yang lebih mengkhawatirkan adalah penularan lewat jalan lahir saat persalinan; bayi bisa tertular herpes, dan mengalami herpes neonatus. Jangan takut mengonsumsi obat untuk mengatasi herpes saat hamil, karena obat yang digunakan aman bagi janin.

Herpes bisa mengenai organ luar, organ dalam, atau saraf pusat bayi. Herpes yang mengenai organ luar (kulit, mata, mulut) memiliki tingkat kesembuhan yang paling baik ketimbang yang lainnya. Herpes yang menyerang sistem saraf pusat memiilki tingkat kecacatan tinggi, dan yang menyerang organ dalam memiliki tingkat kematian lebih tinggi.

Di beberapa negara, sudah ada pemeriksaan tertentu saat hamil untuk melihat apakah pengobatan cukup efektif hingga bisa mencegah penularan ke bayi saat persalinan. Sayangnya, kita belum memiliki pemeriksaan tersebut. “Untuk amannya, ibu dengan herpes sebaiknya melahirkan dengan operasi Caesar. Dengan cara ini tidak ada risiko penularan karena virus herpes tidak ada di daerah perut,” papar Dr. dr. Wresti. Virus herpes berdiam di saraf ganglia basalis di area wajah dan tulang belakang; itu sebabnya lesi herpes muncul di area mulut dan genital saja. Ibu dengan herpes aman untuk menyusui bayinya, karena virus tidak masuk ke ASI.

 

Mencegah penularan

Dianjurkan untuk menggunakan kondom tiap kali berhubungan seksual bila menderita herpes genital. Ini salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah pe nularan kepada pasangan. Memang, kondom tidak bisa mencegah 100% karena ada bagian yang tidak tertutup oleh kondom, tapi masih cukup efektif melindungi. Jangan merasa aman meski tidak ada gejala; penularan tetap bisa terjadi meski herpes tidak sedang kambuh.

Vaksin herpes tengah dikembangkan, kini dalam penelitian fase III. Sementara ini, yang bisa dilakukan adalah mengenali gejala sedini mungkin dan segera ke dokter bila mencurigai gejala herpes.

Ada sedikit tips dari dr. Anthony. Saat pertama kali berobat, datanglah sendirian saja, “Agar tidak saling curiga lalu bertengkar.” Untuk membantu diagnosis, berikanlah jawaban yang jujur mengenai riwayat penyakit, aktivitas seksual, dan lain-lain. Pemeriksaan lab hanya diperlukan bila herpes asimtomatik (tidak bergejala) atau atipikal (gejala tidak khas), karena membutuhkan biaya cukup besar.

Bila diagnosis herpes sudah ditegakkan, barulah ajak pasangan ke dokter, untuk dilihat apakah pasangan kita juga memiliki herpes. Bila ya, maka pasangan pun harus menjalani pengobatan. Tidak perlu saling tuduh siapa menularkan siapa; lebih penting berobat dan mencegah penularan bila pasangan belum terkena herpes. (nid)

_____________________________________________

Ilustrasi: Medical photo created by freepik - www.freepik.com