Diagnosis yang akurat untuk penyakit Asma
Asma

Nafas Sesak Akibat Asma

Dada terasa sesak, berat dan nafas berbunyi (mengi). Ini yang terjadi saat asma menyerang. Sesak nafas karena asma, ditandai dengan adanya peradangan (inflamasi) kronis pada saluran nafas. “Saat gejala asma muncul, terjadi penyempitan di saluran nafas bagian bawah (paru-paru),” terang dr. Ratnawati, MCH, Sp.P(K), Ph.D dari RS Siloam Asri, Jakarta.

Pada kondisi normal, dinding saluran nafas ‘mulus’ karena kondisinya rileks. Namun saat terjadi serangan asma, dinding ini meradang dan menebal, otot yang membungkusnya pun menegang (berkontraksi) sehingga saluran nafas menjadi sempit. Ditambah lagi, lapisan mukosa memroduksi produksi dahak (mukus) kental yang berlebihan, membuat jalan nafas kian sempit. Akibatnya, udara di alveoli terperangkap; sulit keluar. “Muncullah bunyi ngik,” terang Prof. dr. Nirwan Arief, Sp.P(K) dari Asma-COPD Center RS Siloam Asri, Jakarta.

Asma merupakan salah satu penyakit paling banyak terjadi di dunia. Angka kematiannya sudah jauh berkurang dibandingkan 25 tahun lalu, tapi ditengarai bahwa angka kejadiannya meningkat. Jurnal ilmiah The Lancet pada September 2015 menyebutkan, sekitar 334 juta orang di dunia terpengaruh oleh asma.

Di Indonesia, asma termasuk satu dari tujuh kasus rawat inap di RS akibat penyakit tidak menular, berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) 2009-2010. Adapun Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2007 menyatakan, prevalensi asma nasional sebesar 4%, dan meningkat menjadi 4,5% pada Riskesdas 2013. Bila dikalikan 250 juta penduduk, maka mencapai >11 juta jiwa.

 

Respon hiperreaktif dan radang

Asma bersifat kronis (menahun). Pada penderita asma, saluran nafas mengalami perubahan akibat rangsangan alergen (zat pencetus alergi) maupun pemicu lainnya. Perubahan ini meliputi dua respon spesifik: respon hiperreaktif dan peradangan, yang akhirnya menimbulkan gejala klasik asma seperti batuk, mengi dan sesak nafas

Pada respon hiperreaktif, otot-otot polos saluran nafas di paru akan berkontraksi dan menyempit, sebagai respon terhadap alergen atau iritan lain. Ini sebenarnya respon yang normal. Bedanya, pada orang tanpa asma, jalan udara akan kembali berelaksasi dan membuka saat menarik dan mengembuskan nafas dalam-dalam, untuk membersihkan paru-paru dari iritan/alergen.

Sedangkan pada penderita asma, ketika mencoba menarik dan menghembuskan nafas dalam-dalam, saluran nafas tidak berelaksasi justru malah menyempit; membuat nafas jadi terengah-engah. Kemungkinan otot-otot polos kekurangan zat kimia tertentu, yang mencegahnya berelaksasi. Karena jalan nafas menyempit, bernafas pun jadi sulit.

Respoon hiperreaktif diikuti oleh peradangan. Saat alergen atau pemicu lain masuk, sistem imun merespon dengan mengirimkan sel-sel darah putih dan faktor imun lainnya ke saluran nafas. Ini disebut faktor-faktor peradangan yang membuat jalan udara membengkak, mengisinya dengan cairan, dan merangsang produksi dahak kental; sesak nafas pun makin menjadi.

 

Faktor risiko

Dijelaskan oleh dr. Ratna, “Asma akan muncul bila terjadi interaksi antara faktor manusia dengan faktor lingkungan.” Faktor manusia mencakup genetik, hipersensitivitas/alergi dan jenis kelamin. Bila dipicu oleh faktor lingkungan seperti alergen, polutan, asap rokok dan infeksi, asma bisa muncul.

Hampir setengah dari penderita asma dewasa memiliki keterkaitan dengan alergi. Umumnya, asma pertama kali muncul di masa kanak-kanak. Pada asma yang baru muncul saat dewasa, biasanya respon alergi bukan penyebab utama.

Pada orang alergi, sistem imun bereaksi berlebihan terhadap paparan alergen. Asma alergi sering dipicu ketika menghirup alergen seperti tungau debu rumah, bulu hewan, spora jamur, serbuk dari kotoran kecoak dan serbuk sari tanaman.

Serangan asma juga bisa dipicu atau diperparah dengan iritan langsung ke paru-paru. “Satu pemicu utama yakni faktor polusi udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor,” ujar Prof. dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P(K), direktur sekaligus pemrakarsa Asma-COPD Center RS Siloam Asri, Jakarta. Asap dari kebakaran hutan, penggunaan kayu bakar dan  asap rokok juga membuat orang lebih rentan mengalami asma dan gangguan pernafasan lainnya.

Sebelum pubertas, asma lebih sering terjadi pada laki-laki tapi setelah dewasa, lebih sering pada perempuan. Fluktuasi (perubahan) kadar hormon diduga berperan dalam derajat keparahan asma. Pada 30-40% perempuan, keparahan asma berhubungan dengan siklus haid. Ada juga mengalami asma saat hamil atau setelah melahirkan. Sebagian lainnya muncul menjelang menopause.

Faktor risiko lain misalnya kegemukan, GERD (gastroesophageal reflux disease) dan obat tertentu misalnya obat antiinflamasi non steroid (OAINS). Orang yang kelebihan berat badan (BB) atau obes lebih sulit mengontrol asma. Menurunkan BB akan membantu mengurangi sumbatan saluran nafas dan memperbaiki fungsi paru penderita asma.

 

Diagnosis

“Diagnosis yang akurat sangat membantu penatalaksanaan asma,” tegas Prof. Hadiarto. Selain menilai riwayat penyakit seperti variasi sesak dan mengi, faktor pencetus dan faktor keturunan, dokter juga akan melakukan uji fungsi paru dengan spirometri dan peak flow meter (PFR). Spirometri akan mengukur volume udara maksimal yang bisa kita hirup dan embuskan, laju aliran udara maksimal, dan volume udara maksimal yang diembuskan dalam satu detik.

Hasilnya akan terlihat dalam bentuk grafik yang diproses oleh komputer. “Setelah pasien diberi obat, dites kembali 20 menit kemudian,” jelas Prof. Hadiarto. Akan terjadi peningkatan grafik. Selisih kenaikan pada grafik menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien masih bisa membaik minimal sebesar angka tersebut.

“Untuk follow up biasa kita gunakan PFR,” imbuhnya. Alatnya lebih sederhana tanpa melibatkan komputer. Cukup menipu sekali sekeras mungkin, pengukur akan bergerak sesuai kekuatan embusan nafas. Tes alergi juga bisa dilakukan. (nid)

Bersambung ke sini