Mengontrol Psoriasis | OTC Digest

Mengontrol Psoriasis

Psoriasis memberi dampak negatif pada penderita; tidak hanya secara fisik, tapi juga psikis dan kualitas hidup. Psoriasis bisa digolongkan menjadi ringan, sedang atau berat. “Ada dua cara menggolongkan: secara klinis dan derajat gangguan yang dirasakan pasien,” ucap dr. Githa Rahmayunita, Sp.KK dari Kelompok Studi Psoriasis PERDOSKI.

Secara klinis berarti menghitung berapa luas permukaan kulit yang terkena psoriasis. Disebut ringan bila <3%; sedang 3-10%; dan berat >10%. Sebagai informasi, 1% berarti seukuran telapak tangan.

Untuk mengukur derajat gangguan kualitas hidup, digunakan kuisioner dermatology life quality index (DLQI). Pasien diminta mengisi sejumlah pertanyaan, lalu total skornya dihitung. Makin besar nilai skor, makin berat derajatnya. Diperkirakan, 89% pasien psoriasis merasa malu atau mengalami gangguan kualitas hidup yang besar. Gangguan psoriasis terjadi di kulit, sehingga mudah terlihat. Inilah yang menimbulkan rasa malu hingga depresi, karena penderita merasa tidak nyaman dengan penampilannya.

Keparahan psoriasis, secara klinis maupun kualitas hidup, perlu diukur untuk menentukan pengobatan. “Meski gejala klinisnya ringan tapi pasien merasa gangguan kualitas hidupnya berat sampai depresi, perlu terapi agresif,” tutur dr. Githa.

Ketua Psoriasis Nusantara dr. Danang Tri Wahyudi, Sp.KK, menyatakan, target pengobatan psoriasis yakni 75% lesi psoriasis hilang dari keluhan awal, “Itu sudah kita anggap baik.” Sejauh ini psoriasis belum dapat disembuhkan dan bisa terjadi remisi. Belum ada pengobatan yang efektif untuk semua penderita. “Obat yang cocok untuk satu orang, belum tentu cocok untuk orang lain dengan jenis psoriasis yang sama,” imbuh dokter yang juga mengalami psoriasis.

Remisi tidak berarti lesi psoriasis hilang sama sekali, tetap ada sedikit atau ukurannya kecil-keci dan sebagian lagi hilang-timbul (intermiten). “Hanya sebagian kecil yang benar-benar bersih dan tidak ada bercak di kulit,” tutur dr. Githa. Sekitar 50% penderita psoriasis mengalami fase remisi selama satu hingga beberapa tahun.

 

Pengobatan

Pengobatan psoriasis terdiri tiga langkah; dimulai dari awal (langkah pertama), tapi bisa saling bersinggungan/dikombinasi. Pada kasus ringan, pengobatan dimulai dengan obat topikal (oles), dilakukan di bawah pengawasan dokter umum atau dokter spesialis kulit (dermatolog).

“Psoriasis sedang pengobatan biasanya dimulai dengan fototerapi,” ujar dr. Danang. Ini dilakukan oleh dermatolog. Langkah ketiga, digunakan obat yang bersifat sistemik (obat minum/oral). Pemilihan atau perubahan terapi tergantung dari berat dan tipe penyakit, ada /tidaknya penyakit ikutan (komorbiditas), respon penyakit terhadap obat terdahulu. Semua sifarnya sangat individual. Sebagian pasien mendapat terapi multiple stimultant; obat minum dan oles secara bersamaan.

  1. Topikal. Pilihan pertama obat topikal yakni emolien/pelembap; bisa untuk psoriasis ringan, sedang maupun berat. Emolien sangat lengket. Ini perlu untuk kulit psoriasis yang cenderung kering, agar tetap lembap.
    Kortikosteroid masih menjadi pengobatan yang utama. Sebagian orang khawatir efek sampingnya. Tapi dengan kerjasama yang baik antara dokter dan pasien, dan penggunaan obat benar, efek samping bisa diminimalkan. “Obat ini murah dan mudah didapat, sehingga pasien sering membeli dan memakainya tanpa pengawasan,” papar dr. Danang. Hal ini bisa menghilangkan kemampuan kortikosteroid. Yang awalnya baik, kemudian tidak ada hasilnya.
    Pilihan topikal lain yakni asam salisilat, yang bekerja dengan menipiskan kulit (keratolitik). Obat berikutnya, golongan retinoid. Kemungkinan efek sampignnya., iritasi dan fotosensitisasi. Analog vitamin D biasanya digunakan berbarengan dengan kortikosteroid, “Karena kalau sendirian, biasanya menimbulkan iritasi hingga kulit memerah.” Efek jangka panjang analog vitamin D lebih baik ketimbang steroid. Bila penyakit tergolong ringan, remisi bisa lebih panjang dibandingmhanya memakai steroid.
    Tar sudah lama digunakan. Efeknya baik, tapi berbau dan meninggalkan warna sehingga jarang digunakan.
     
  2. Fototerapi. Ada yang berspektrum luas (broadband), ada yang sempit (narrowband). Ini menunjukkan seberapa besar UVB yang digunakan; narrowband dinilai lebih baik. Karena berbasis sinar, efek samping fototerapi seperti terbakar dan terasa panas setelah terapi. “Biasanya tidak langsung. Siang terapi, malamnya badan terasa panas seperti terbakar matahari,” ujar dr. Danang.
    Efek fototerapi cukup baik, tapi tidak langsung terlihat. Setelah 20 - 50 kali baru terasa. Tapi sifatnya jangka panjang. Remisi bisa cukup panjang. Yang ditakutkan, fototerapi bisa merangsang tahi lalat menjadi ganas (kanker), sehingga sebelum terapi, biasanya tahi lalat akan ditutup.
     
  3. Oral. Metroteksat, siklosporin dan retionid adalah tiga obat yang paling sering digunakan, utamanya untuk psoriasis sedang-berat dan yang tipe pustulosa. Metotreksat sangat baik, murah dan ditanggung BPJS. Efek sampingnya bisa mengganggu fungsi hati dan menyebabkan anemia, “Tapi jangan takut, karena yang digunakan dosis rendah.” Selama pemakaian, dilakukan pemeriksaan darah per tiga bulan dan pemeriksaan lain yang diperlukan. “Tidak dianjurkan digunakan terus menerus tanpa pengawasan dokter, karena dosis kumulatifnya berbahaya,” tegas dr. Danang.
    Siklosporin bekerja cepat. Pemakaian harus dihentikan sebelum 2 bulan. Obat ini bekerja untuk menekan imunitas; biasa digunakan untuk orang yang sudah menjalani transplantasi, agar tidak terjadi reaksi penolakan terhadap organ tranplantasi.
    Adapun retinoid efeknya berhasil baik, tapi belum ada ijin edarnya di Indonesia. “Hanya bisa didapat di RS tertentu, dengan special access,” ujar dr. Danang.
     
  4. Agen biologis. Ini pengobatan terbaru; ada 4 yang sudah masuk ke Indonesia. Semuanya untuk psoriasis sedang-berat maupun psoriasis artritis. Menurut dr. Danang, obat ini memberikan hasil sangat baik, tapi perlu berbagai pemeriksaan sebelum pengobatan. “Harus dipastikan tidak ada kondisi yang kontraindikasi dengan obat,” jelasnya.
    Efek samping utamanya infeksi dan infeksi berat seperti TB (tuberkulosis). Juga dikhawatirkan risiko terhadap kanker. “Bukan untuk menakut-nakuti, tapi efek samping harus diketahui agar tidak menggunakan obat sembarangan,” tegasnya.

 

Terapi non obat

“Hindari factor pencetus,” ucap dr. Danang. Sebisa mungkin, hindari hal-hal yang bisa membuat psoriasis kambuh. Hal ini berbeda pada tiap orang. Yang pasti, stres harus dikelola dengan berdoa, relaksasi dan lain-lain yang cocok dengan diri sendiri.

Usahakan kulit selalu lembap. Sebaiknya, pilih sabun yang busanya tidak terlalu banyak dan pH tidak basa. “Makin berbusa, berarti pH sangat basa. Kulit makin kering sehingga ikatannya terbuka,” papar Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K) atau akrab disapa dr. Poppy, dari FKUI/RSCM. Bila mungkin, pilih sabun yang berpelembap, hindari air yang terlalu hangat karena membuat kulit kering.

“Bisa pakai sampo biasa atau sampo antiketombe,” ujar dr. Danang. Setelah itu usapkan kondisioner untuk melembapkan.

Jaga pola makan dan olahraga teratur. Perbanyak makan sayur dan buah, kurangi lemak. Hindari rokok dan alkohol. “Secara tidak langsung, psoriasis membuat pola hidup kita lebih sehat,” imbuhnya.

Dr. dr. Poppy menambahkan, konsumsi daging merah tidak dianjurkan bagi penderita psoriasis. “Daging mengandung asam arakidonat, yang bisa membuat peradangan lebih berat,” ungkapnya. Belum lagi kandungan lemak dan kolesterol, yang merupakan ‘persembunyian’ sel radang. Berat badan perlu dijaga, “Makin gemuk, biasanya makin banyak peradangan.”

Berjemur bisa dilakukan sebagai ganti fototerapi. “Paling bagus di atas jam 10 sampai jam 3 sore, saat sinar matahari mengandung UV,” ujar Dr. dr. Poppy. Cukup 5 menit. Hindari bila kulit jadi merah bila terkena sinar matahari. Ini terjadi pada kelompok fotosensitif; psoriasis malah kambuh bila terkena UV.

Hindari obat-obatan atau suplemen yang merangsang imun tubuh (imunostimulan). Pasien psoriasis sudah kelebihan sel imun. Begitu distimulasi, akan makin keluar. Lakukan general check up rutin sekali setahun. “Untuk memastikan ada/tidaknya penyakit, karena psoriasis meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakti komorbiditas,” ucapnya.

Psoriasis bisa kambuh tanpa sebab yang jelas. “Dengan pengobatan yang tepat, bisa dikontrol,” ujar dr. Githa. Tidak perlu minum obat untuk mempertahankan remisi. Yang penting, hindari pencetus, jaga pola hidup sehat dan jaga agar kulit tetap lembap.

Sebagai penderita psoriasis, dr. Danang berbagi pengalaman. “Untuk hidup berdamai dengan psoriasis, harus diterima sebagai bagian dari hidup kita. Penyakit ini akan terus ada sejak muncul hingga kita meninggal,” tuturnya. Bila bisa menerima keadaan, lebih mudah menjalani ‘ritual’ yang harus dijalankan, seperti memakai salep dan pelembap sehabis mandi. Harus ada kerjasama yang baik antara dokter dengan pasien, agar pemakaian obat benar dan sesuai anjuran. Dukungan lingkungan (keluarga, teman) sangat membantu. “Tidak boleh takut; jangan sampai psoriasis mengekang kita.” (nid)