Psoriasis dicurigai sebagai penyakit autoimun, di mana sel-sel imun yang bersifat peradangan (inflamasi) menyerang tubuh sendiri, khsusunya kulit. “Secara teoritis, penyakit autoimun baik di kulit maupun tempat lain, bisa mencetuskan penyakit autoimun yang lain. Jadi, ada dua atau lebih penyakit autoimun sekaligus,” ujar dr. Endi Novianto, Sp.KK dari FK Universitas Indonesia /RS Cipto Mangunkusumo. Lebih lanjut ia menjelaskan, penyakit seringnya saling memberatkan. Umumnya yang berbarengan dengan penyakit autoimun lain yakni psoriasis tipe pustular (bernanah).
Selain vertigo, lupus bisa mengiringi psoriasis. Namun, patogenesis (proses terjadinya psnyakit) lupus berbeda dengan psoriasis, meski sama-sama termasuk autoimun. “Pada lupus, penyakit utamanya terbentuk dari antibodi, sedangkan pada psoriasis oleh sel T,” terang dr. Endi. Psoriasis tidak terdeteksi melalui pemeriksaan profil ANA (anti-nuclear antibodies), karena patogenesisnya bukan dari antibodi.
Bila pengobatannya sejenis, bisa menguntungkan karena pengobatan bisa digabung; kalau yang satu membaik, yang lain ikut membaik. Namun bila pengobatannya berbeda, maka harus diobati sendiri-sendiri.
Psoriasis yang disertai lupus bisa menyulitkan. Untuk mengatasi lupus, mungkin pasien perlu mengonsumsi obat metilprednisolon. Sedangkan, obat ini termasuk golongan steroid, yang tidak dianjurkan pada psoriasis. “Pada penggunaan steroid, kadang penghentian mendadak atau penuruna dosis bisa menimbulkan psoriasis pustular,” ujar dr. Endi. Harus ada kerjasama antara dokter penyakit dalam yang menangani lupus, dengan dokter kulit yang menangani psoriasis, agar agar efek samping bisa dicegah. Bisa jadi, obat bisa saling menghilangkan efek samping obat yang lainnya.
Sindrom metabolik
“Penelitian akhir-akhir ini menyebutkan bahwa psoriasis, terkait juga dengan sindrom metabolik (SM),” ucap dr. Githa Rahmayunita, Sp.KK dari Kelompok Studi Psoriasis PERDOSKI. SM adalah kumpulan gejala dari berbagai kondisi: obesitas, gula darah tinggi, hipertensi (tekanan darah tinggi), lemak darah tinggi dan kolesterol ‘baik’ HDL rendah. Seseorang disebut menderita SM bila mengalami tiga atau lebih dari gejala tersebut.
Menurut penelitian, prevalensi (angka kejadian) SM, lebih tinggi pada orang dengan psoriasis ketimbang yang tidak memiliki psoriasis. Pada akhirnya, penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah) diam-diam mengintai pasien psoriasis, karena SM meningkatkan risiko terhadap gangguan jantung dan kardiovaskular.
Pendapat serupa dikemukakan Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, Sp.KK(K) dari FKUI/RSCM, Jakarta. “Setelah kita urutkan, ternyata TNF alfa yang memicu psoriasis rupanya juga suka ‘berjalan’jalan’ ke pembuluh darah,” tutur dokter yang akrab disapa Poppy ini. TNF alfa adalah sitokin (protein sinyal), yang bisa memicu reaksi peradangan sistemik, antara lain diproduksi oleh sel T CD4+.
Penelitian oleh Azfar dan Gelfand (2008) menemukan, psoriasis berikatan dengan diabetes, penyakit arteri koroner dan peningkatan risiko terhadap serangan jantung. Semua kondisi ini memiliki perubahan patologis yang serupa; antara lain inflamasi (peradangan) kronis dan stres oksidatif (gangguan akibat radikal bebas yang berlebihan).
Pasien psoriasis yang juga mengalami gangguan kardiovaskular, harus menginformasikan kepada dokter penyakit dalam mengenai psoriasis yang diderita, karena ada beberapa obat yang harus dihindari. Antara lain beta blocker (obat untuk sakit jantung) dan ACE inhibitor (obat antihipertensi). “Begitu obat diganti, psoriasisnya ada perbaikan. Daftar obat yang tidak boleh dikonsumsi ini harus ditempel di rekam medis,” ujar dr. Githa.
Psoriasis pada perempuan
Kekambuhan psoriasis turut dipengaruhi kadar estrogen. Hormon estrogen bersifat antiinflamasi (antiperadangan) dan mencegah kulit jadi kering, sehingga bisa meredakan psoriasis. Menjelang haid, kadar estrogen menurun, membuat kulit lebih kering. “Psoriasis mulai kambuh. Pada masa ini, kadang pengobatan tidak bisa mengontrol psoriasis,” terang Dr. dr. Poppy. Demikian halnya saat memasuki masa menopause. Estrogen yang makin rendah, membuat kulit makin kering.
Tidak berarti bahwa psoriasis pasti kambuh menjelang haid, karena kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor, tidak hanya kadar estrogen. Kondisi psikologis sangat berpengaruh. “Misalkan di saat menjelang haid tapi bahagia, psoriasis bisa tidak muncul,” ujar Dr. dr. Poppy. Sebaliknya, meski kadar estrogen tinggi tapi emosi jelek, psoriasis bisa kambuh.
Saat hamil, kadar estrogen terus tinggi sehingga umumnya, psoriasis menghilang selama masa kehamilan. Namun setelah melahirkan, estrogen menurun agar produksi ASI (air susu ibu) tidak terganggu. Psoriasis mulai muncul lagi. Mungkinkah psoriasis justru muncul saat hamil? “Ini biasanya dikaitkan dengan bawaan hamil bayi laki-laki, yang memiliki sifan antiestrogen. Tapi belum ada penelitiannya,” imbuhnya.
Saat hamil, tidak digunakan obat minum (oral). Lesi psoriasis yang muncul, cukup diolesi salep. Cukup sedikit saja. Salep dengan ukuran 10 gr/tube, dalam seminggu tidak boleh habis tiga tube. Namun biasanya pasien gembira, karena psoriasis hilang selama hamil. “Tuhan masa besar, sehingga ibu hamil tidak perlu minum obat. Namun, menurut pengalaman saya, emosi juga harus terkontrol karena sangat berpengaruh,” tutur Dr. dr. Poppy.
Pengobatan psoriasis pada perempuan, bisa dengan pendekatan hormonal. Maksudnya, kita bisa mengupayakan kadar estrogen tetap terjaga, dengan mengonsumsi makanan yang mengandung fitoesroten (estrogen alami dari tumbuhan). Misalnya produk kacang kedelai seperti tempe dan tahu. (nid)
Bersambung ke: Mengontrol Psoriasis