Hormon Laki-laki Berlebihan pada Perempuan | OTC Digest

Hormon Laki-laki Berlebihan pada Perempuan

Caster Semenya melaju kencang, memperlebar jarak dengan pelari asal Burgundi, Francine Niyonsaba, di belakangnya. Di menit 1:55,28 Semenya menyentuh garis finish, menjadikannya peraih medali emas di Olimpiade Rio 2016 untuk cabang atletik 800 m perempuan. Pelari asal Afrika Selatan ini termasuk yang difavoritkan sekaligus dibenci.

‘Dibenci’ karena Semenya berlari lebih cepat dan dianggap bukan perempuan tulen, sehingga tidak adil bila bertanding dengan perempuan ‘biasa’. Memang, secara fisik ototnya kekar seperti laki-laki. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Semenya mengalami hiperandrogen, kondisi yang juga dialami Dutee Chand, pelari jarak pendek (sprinter) asal India.

Tak hanya atlet yang mengalami hiperandrogen. Perempuan kebanyakan pun bisa mengalami. Ini adalah kondisi, di mana kadar androgen (sekelompok hormon laki-laki) pada perempuan, lebih tinggi daripada yang seharusnya.

Bukannya perempuan tidak membutuhkan androgen. Hormon ini penting untuk pertumbuhan folikel sel telur. Dalam tubuh perempuan, androgen diproduksi oleh indung telur (ovarium) dan kelenjar suprarenal/adrenal yang terletak di atas ginjal. “Perempuan perlu androgen, tapi tidak banyak,” ujar Dr. dr. Budi Wiweko, Sp.OG-KFer dari FK Universitas Indonesia, Jakarta.

Salah satu hormon androgen yakni testosteron; 99% testosteron pada perempuan diikat oleh protein SHBG, dan hanya 1% yang tersedia dalam bentuk aktif. “Bila kadar androgen bebas berlebihan (di atas satu persen), terjadi hiperandrogen,” imbuhnya.

Androgen juga mengatur pertumbuhan rambut, termasuk rambut kemaluan. Pada kondisi hiperandrogen, pola rambut menyerupai laki-laki (hirsutisme). “Tumbuh rambut berlebihan pada kumis, cambang, janggut serta bagian tubuh lain seperti dada dan pusar,” ucap Dr. dr. Iko, panggilan akrabnya. Sebaliknya, rambut di kepala rontok hingga bisa botak.

Gejala lain hiperandrogen yakni kulit wajah berminyak, berjerawat dan siklus haid tidak teratur. Pada kasus yang berat, bisa terjadi virilisme atau maskulinisasi; tampilan fisik perempuan tampak seperti laki-laki. Bisa terjadi kondisi, seperti massa otot meningkat, payudara menyusut, klitoris membesar dan suara menjadi berat. Virilisasi yang terjadi saat bayi berada dalam kandungan bisa menyebabkan ia lahir dengan jenis kelamin tidak jelas, misalnya genital ambigu atau interseks.

Ya, tingginya androgen bebas, sangat mungkin memunculkan jerawat. Jerawat karena pengaruh dari hiperandrogen, bisa dialami perempuan usia reproduktif. Umumnya terjadi pada kulit yang densitas kelenjar minyaknya padat. “Misalnya daerah T-zone di wajah: area dahi, hidung hingga dagu,” ungkap dr. Suksmagita Pratidina, Sp.KK dari Erha Clinic Bintaro. Beberapa bagian tubuh seperti punggung dan dada juga memiliki densitas minyak yang padat di kulit. (Baca juga: Jerawat Akibat Hormon Laki-laki)

 

Penyebab

Salah satu penyebab hiperandrogen yakni kegemukan. “Pada orang gemuk, akan terjadi gangguan kerja insulin, hormon yang memasukkan glukosa (gula) ke sel,” terang Dr. dr. Iko. Sel-sel tubuh jadi tidak sensitif terhadap insulin (resisten), sehingga pankreas memproduksi lebih banyak insulin agar sel tubuh bereaksi dan ‘membuka’ pintu, agar gula di aliran darah bisa masuk.

Sayangnya, kadar insulin yang terlalu tinggi akan menstimulasi pelepasan androgen dari ovarium. Sebaliknya, produksi SHBG di hati dihambat, “Bila pengikatnya turun, androgen yang bebas akan meningkat.” Insulin tinggi turut berhubungan dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS), yang juga merupakan penyebab hiperandrogen.

Penyebab lain yakni pembesaran adrenal bawaan (kongenital) atau CAH (congenital adrenal hyperplasia). CAH klasik terjadi saat kelahiran; tampak virilisasi pada alat kelamin eksternal perempuan. Adapun CAH yang muncul terlambat (non klasik) tergolong lebih ringan, dan umumnya tidak terlihat hingga awal pubertas.

Tumor juga bisa menimbulkan hiperandrogen. Yakni jenis tumor pada adrenal atau ovarium yang melepaskan androgen, meski terbilang jarang (<1% pasien hiperandrogen). Kadar testosteron total >200 ng/dl dan kadar DHEA-S >700µg/dL, merupakan kemungkinan indikasi tumor.

 

Mengukur androgen

“Pengukuran hormon androgen biasanya dilakukan untuk menilai persentase androgen bebas,” ujar Dr. dr. Iko. Penilaian ini terbilang sulit. Pertama, darah diambil untuk mengukur kadar testosteron dan protein pengikatnya, lalu dibagi. Keluarlah hasilnya, yang disebut free androgen index.

Pemeriksaan ini tidak langsung dikerjakan untuk semua kasus yang dicurigai hiperandrogen. “Biasanya pada PCOS, di mana ada gangguan haid, untuk eksplorasi lebih jauh,” katanya. (nid)

 

Bersambung ke: Hiperandrogen dan Sindrom Ovarium Polikistik