Epilepsi dan Penyakit Penyertanya | OTC Digest
epilepsi_autis_ADHD_anak

Epilepsi dan Penyakit Penyertanya

Mendengarkan Adagio in D Minor for Flute and Piano karya Hikari Oe, pikiran seakan terhipnotis oleh denting piano dan alunan flute yang begitu indah. Siapa sangka, sang Komposer adalah penyandang epilepsi dan autisme, yang juga memiliki keterbatasan pada penglihatan, bicara dan koordinasi gerak. Hikari terlahir disabel. Ayahnya, peraih Nobel Sastra Kenzaburo Oe, dan ibunya, Yukari Eikuchi, tidak menuruti “saran” dokter untuk merelakan putra mereka. Menyadari respon Hikari terhadap musik, orangtuanya lantas merekrut guru piano untuk membimbingnya bermain piano. Melalui musik dan komposisi musik, Hikari “berbicara”, mengeskpresikan perasaannya.

Sayang, tidak terlalu banyak penyandang epilepsi seberuntung Hikari, yang bisa berkarya dengan keterbatasannya. Masih banyak stigma yang menyudutkan atau merendahkan penyandang epilepsi. Dr. dr. R.A Setyo Handryastuti, Sp.A (K) atau biasa disapa dr. Handry, ahli neurologi anak dari FK Universitas Indonesia, menuturkan, “Anak dengan epilepsi sama seperti anak dengan asma, diabetes dan lain-lain; bukan hal yang menakutkan, bukan stigma, bukan pula penyakit kutukan. Ini adalah penyakit kronis yang bisa terjadi pada siapa saja.”

Anak didiagnosis epilepsi bila mengalami kejang berulang (dua kali atau lebih), dengan interval (jarak) antar kejang lebih dari 24 jam. Kejangnya bukan disebabkan oleh demam tinggi, trauma kepala, infeksi atau tumor otak. “Sifatnya unprovoked (tidak ada pemicu). Tidak ada kejadian yang membuat dia kejang; tiba-tiba saja muncul. Setelah kejang, anak kembali beraktivitas seperti biasa,” terangnya.

Kejang akibat epilepsi (bangkitan) disebabkan oleh aktivitas listrik di otak yang mendadak tinggi. Kejang bisa bersifat sebagian (fokal), atau seluruh tubuh (umum). Kejang fokal atau umum pun dibagi lagi menjadi idiopatik dan simtomatik. Pada epilepsi idiopatik, anak betul-betul normal; pandai, bisa bersekolah seperti biasa dan tidak ada kelainan pada otaknya melalui pemeriksaan CT Scan / MRI kepala. Juga tidak ada kelainan kromosom, genetik, atau metabolik.

Adapun pada kasus simtomatik, sebagian besar perkembangan anak telambat: terlambat bicara, berjalan, duduk, dan sebagainya. Umumnya terdapat kelainan pada CT Scan/MRI kepala, genetik atau metabolik. Sebagian besar epilepsi mudah diobati; berespon terhadap satu macam obat dan bisa sembuh. “Namun kalau simtomatik, biasanya harus dengan dua macam obat atau lebih, atau mungkin memerlukan operasi,” ujarnya.

Dokter mungkin membutuhkan waktu untuk menegakkan diagnosis. Diagnosis epilepsi harus benar-benar tegas karena pengobatannya membutuhkan waktu lama. Setelah didiagnosis, dokter lalu menentukan klasifikasi jenis epilepsi, karena akan menentukan pengobatan. Ini juga penting untuk melihat prognosis (ramalan penyakit di kemudian hari) dan ada tidaknya komorbiditas (masalah yang menyertai).

 

Komorbiditas

Perkembangan terlambat, gangguan kognitif, problem belajar dan ADHD (attention deficit and hyperactivity disorder), depresi dan kecemasan, serta autisme adalah komorbiditas (penyakit penyerta) yang bisa muncul pada anak dengan epilepsi. Perkembangan terlambat terjadi pada anak pilepsi dengan gangguan perkembangan otak, yang terlihat berdasarkan pemeriksaan CT scan / MRI kepala. Manifestasinya umumnya terlihat pada perkembangan motoriknya; anak terlambat duduk, berjalan atau bicara.  Ini bisa terjadi sebelum atau sesudah anak didiagnosis epilepsi, “Bisa saja tadinya anak normal, lalu mengalami sindrom epilepsi yang berat lalu perkembangannya yang normal jadi terlambat.” Berat ringan kelainan otak, jenis epilepsi dan obat yang diberikan, menjadi faktor penyulit yang akan memengaruhi perjalanan penyakit.

Komorbiditas pada gangguan kognitif bisa mencakup intelegensia, atensi, kemampuan belajar, memori, penilaian, prencanaan, ekspresi dan pengeritan bahasa, yang tentu akan memengaruhi perilaku dan ketrampilan sosial anak. “Pada anak dengan epilepsi intraktabel (sulit diobati), rerata evaluasi IQ 84,” dr. Handry menjelaskan. Bagian otak yang terkena juga berpengaruh. Misalnya pada epilepsi lobus frontal, yang terganggu adalah kemampuan untuk mengambil keputusan; pada epilepsi lobus temporal, yang sering menonjol adalah terganggunya kemampuan mengingat.

Komorbiditas problem belajar, berbeda dengan disabilitas intelektual. IQ umumnya normal tapi ada kemampuan belajar yang tidak sesuai dengan usiam sehingga pencapaian akademisnya tidak sama dengan anak seusianya; misalnya ada problem membaca, matematika dan menulis. Berdasarkan penelitian pada 173 anak epilepsi usia 7-15 tahun, 13-32% mengalami problem membaca; 20-38% problem matematika; 35-56% problem menulis.

Adapun ADHD pada anak epilepsi mencapai 44%. Dr. dr. Tjhin Wiguna, Sp.KJ (K) menambahkan, mungkin juga mereka tidak termasuk hiperaktif, tapi lebih aktif, “Mereka berjalan-jalan di kelas, atau melongok ke sana kemari sehingga apa yang ditugaskan tidak selesai.” Pelajaran yang diterangkan guru hanya ditangkap sebagian karena mereka tidak bisa fokus dengan baik.

Perlu diperhatikan, anak epilepsi berisiko lebih tinggi terhadap problem psikiatri ketimbang anak biasa. “Penelitian di RSCM divisi neurologi anak menunjukkan, 44% anak dengan epilepsi mengalami gangguan mental,” ujar Dr. dr. Tjhin. Gangguan mental mencakup gangguan perilaku dan emosi, yang mencakup gangguan mood, cemas dan hiperaktivitas.

Salah satu gangguan mood adalah depresi. “Anak dengan depresi cenderung merasa dirinya tidak mumpuni, apalagi di masa remaja, ketika orang mencari jati diri,” tutur Dr. dr. Tjhin. Ini diperberat dengan kondisi keluarga yang tidak bisa menerima kondisinya atau sebaliknya overprotektif, dan lingkungan yang memojokkan. Ini akan membuat anak / remaja dengan epilepsi jadi terisolir, padahal mereka sangat ingin merasa diterima oleh kelompoknya. “Kalau dia tidak diterima, bisa jatuh dalam kondisi depresi,” imbuhnya.

Hubungan antara epilepsi dengan autisme bersifat vice versa. “Anak dengan autisme berisiko lebih tinggi menjadi epilepsi dibandingkan dengan populasi umum, dan sebaliknya; anak dengan epilepsi lebih berisiko terhadap autisme dibanding anak lain,” papar dr. Handry. Ini terkait dengan gangguan di otak yang hampir sama, sehingga saling berkaitan. Epilepsi pada anak dengan autisme mencapai 5-38,3%.

 

Penyebab komorbiditas

Penyebab komorbiditas pada epilepsi adalah multifaktor. Sangat tergantung dari tiga hal: usia awitan (munculnya) epilepsi, frekuensi kejang dan lama menyandang epilepsi; jenis terapi; dan klasifikasi epilepsi. “Makin muda usia anak menyandang epilepsi, apalagi kena yang simtomatik dan frekuensi kejangnya juga sering, tentu kemungkinannya terjadi komorbiditas juga makin besar,” tutur dr. Handry.

Anak yang mendapat terapi obat lebih dari 1 macam dan/atau mengonsumsi obat anti epilepsi (OAE) tertentu juga berisiko lebih besar terhadap komorbiditas. Misalnya obat jenis fenobarbital dalam jangka waktu lama, bisa membuat anak menjadi hiperaktif atau mengalami gangguan belajar. Klasifikasi epilepsi juga sangat berpengaruh. Misalnya anak menyandang epilepsi intraktabel. Atau epilepsi termasuk yang simtomatik; selain epilepsi, juga ada perkembangan otak yang terlambat, dan lain-lain. (nid)

Bersambung ke: Mendeteksi Gangguan Psikologis pada Epilepsi 

_______________________________

Ilustrasi: Pixabay.com