Akses Pengobatan Diabetes Harus Diperluas
diabetes__akses_pengobatan

Akses Pengobatan Diabetes Harus Diperluas

Berbagai negara telah berhasil mengelola diabetes melitus tipe 2 (DM2) dengan baik dengan memaksimalkan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Sayangnya di Indonesia, pengobatan diabetes masih lebih banyak dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL).

Prof. Budi Hidayat, S.KM, MPPM, Ph.D, Ketua CHEPS-UI (Center for Health Economics and Policy Studies – Universitas Indonesia) menegaskan, “Kalau pemerintah betul-betul serius menurunkan beban penyakit tidak menular (PTM), stop dari hulu sampai ke hilir.” Ini meliputi pencegahan primer yang fokusnya mencegah diabetes, dan pencegahan sekunder yang fokusnya mencegah komplikasi pada diabetes. Ini diungkapkannya dalam salah satu sesi ilmiah dalam pertemuan ilmiah tahunan InaHEA ke-6 di Bali, Rabu (6/11/2019).

Semua orang yang berisiko tinggi hendaknya diskrining untuk gula darah. “Antara lain mereka yang kegemukan/obes, lingkar perut melebihi angka normal (>80 cm untuk permepuan dan >90 cm untuk laki-laki), ada riwayat diabetes dalam keluarga, dan perempuan yang melahirkan bayi >4 kg,” papar Ketua Umum PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD - KEMD.

Sesi Diskusi di InaHEA 2019 / Foto: dok. Forum Ngobras

Skrining bisa dilakukan di seluruh FKTP, dengan peralatan sederhana. Hanya butuh timbangan untuk mengukur berat badan, meteran untuk mengukur lingkar perut, dan glukometer untuk menilai kadar gula darah sewaktu. “Pemeriksaan HbA1c untuk memonitor gula darah memang agak mahal. Tapi toh hanya perlu dilakukan 3 – 6 bulan sekali,” lanjutnya.

Setelah penyandang DM2 didiagnosis, selanjutnya keran akses terhadap pengobatan harus dibuka selebar-lebarnya. Obat-obatan anti diabetes, baik oral maupun insulin, seharusnya bisa diberikan di FKTP untuk mempermudah akses bagi pasien.

Sistem kapitasi untuk pembiayaan FKTP turut menghambat pengelolaan diabetes. Dengan sistem kapitasi, FKTP diberi dana sekian rupiah, meliputi biaya pelayanan, jasa, edukasi ke masyarakat, hingga obat-obatan. Di satu sisi, ini diharapkan memacu FKTP untuk mengedukasi masyarakat sehingga penyakit bisa dicegah sedini mungkin. Namun di sisi lain, bisa menjadi bumerang.

“Bila banyak pasien yang membutuhkan obat, maka dana kapitasi yang didapat oleh FKTP jadi sedikit, karena banyak dipakai untuk membiayai obat,” terang Prof. Budi. Ini bisa menimbulkan keengganan bagi FKTP untuk memberikan obat, meski obat tersedia. Akhirnya pasien dirujuk ke FKTL dan mendapat obat di sana, yang tentu pembiayaannya jadi lebih besar, “Seharusnya pembiayaan obat dikeluarkan dari kapitasi.”

Prof. Budi menekankan, penting melakukan sinkronisasi antara kebijakan dan pedoman yang dikeluarkan asosiasi. "Salah satunya adalah Formularium Nasional yang harus mengikuti Guideline Diabetes yg dikeluarkan oleh Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (PERKENI)," pungkasnya. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Background photo created by xb100 - www.freepik.com