Mona Ratuliu: “Kurang Darah, Bikin Pusing” | OTC Digest

Mona Ratuliu: “Kurang Darah, Bikin Pusing”

Mona Ratuliu (34 tahun) heran. Secara medis ia dianggap kurang gizi, tepatnya kekurangan zat besi sehingga terserang anemia dan mengalami gejala 5 L: letih, lesu, lemah, lalai, lelah. Kadang kepalanya seperti berputar dan mata berkunang-kunang. Kulit kepucatan.

Anemia terjadi karena kadar hemoglobin (Hb) dalam darah di bawah normal. Hemoglobin adalah protein dalam sel darah merah, yang bertugas mengangkut oksigen dari paru-paru dan mendistribusikannya ke seluruh tubuh. Juga untuk mengikat karbondioksida dari sel-sel tubuh ke paru-paru. Jika tubuh kekurangan Hb, penyebaran oksigen dan pembuangan karbondioksida akan terganggu.

Zat besi berasal dari bahan pangan hewani dan nabati. Bahan pangan hewani, misalnya daging merah, ikan, unggas dan hati. Sedangkan zat besi nabati terkandung antara lain pada bayam, kangkung dan daun singkong.

“Tiap kali makan di luar rumah, hampir pasti ada protein hewaninya. Tapi kenapa aku mengalami anemia,” istri aktor Indra Brasco ini heran. “Steak dan ikan, itu sumber protein kan?”

Kata Mona lagi, ia dan keluarga gemar minum teh. Usai makan kerap ditutup dengan minum teh manis, es teh atau teh hangat. Steak daging dan ikan adalah bahan makanan yang mengandung zat besi. Zat besi akan diserap tubuh dengan baik, bila kita hanya minum air putih. Teh, dan juga kopi, ternyata tidak cocok disandingkan dengan makanan sumber zat besi. Teh dan kopi, menurut ahli gizi, dapat mengganggu atau menghalangi penyerapan zat besi oleh tubuh. Itu karena kandungan tanin yang terdapat pada teh dan kopi, mengikat zat besi dan merusak struktur protein.

Anemia menyerang 1 dari 5 wanita Indonesia; ini data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Tak perlu terjadi,sebenarnya, karena negeri kita kaya sumber zat besi; hewani maupun nabati. Masalahnya lebih pada ketidaktahuan, seperti terjadi pada Mona dan kelarga. Selain menghindari minum teh atau kopi usai mengonsumsi zat besi, zat besi nabati ternyata lebih sulit diserap tubuh dibanding yang hewani. Dan di Indonesia, zat besi dari sumber nabati lebih banyak diikonsumsi oleh masyarakat.

Mona tak pernah menduga, dulu ia mudah lelah, tidak bersemangat, sakit kepala dan mengantuk karena anemia. “Aku pikir capek, kadang sakit kepala karena mengurus tiga anak,” katanya. Dia juga bekerja. Sebagai orang kantoran hjam kerjanya nine to five ( jam 9 pagi sampai 5 sore). Kadang aku nine to nine (jam 9 pagi sampai 9 malam), atau jam 9 pagi sampai jam 5 pagi hari berikutnya.” Itu dilakukan saat menjadi duta kampanye “Sehat Tanpa Anemia untuk Indonesia Lebih Produktif’, beberapa waktu lalu.

Memang, kalau pusing ibaraynta tidak sampai tujuh keliling. Tidak sampai jatuh. Bagaimanapun kondisi itu mengganggu aktivitas. Jalan keluarnya, ia minum obat sakit kepala. Sakitnya hilang, tapi hanya sementara karena masalah pokoknya belum tersentuh. “Sakit kepala itu sebenarnya alarm bahwa ada apa-apa dengan tubuh kita,” kata pemain di “Surat Kecil Untuk Tuhan The Series” ini.

Saat membaca informasi tentang anemia,ia berpikir jangan-jangan selama ini ia anemia. Tak menunggu lama, ia cek kadar hemoglobin di lab. Benar, kadar Hb dalam darah < 11 g/dL (normal wanita dewasa 12,3 – 15,3 g/dL).

Konsultasi ke dokter, “Saya dibilang pucat. Saya candain: enggak dok, kulit saya memang putih, hahaha. Tapi memang, telapak tangan saya pucat. Mestinya kemerahan.”

Mona segera memperbaiki pola makan, istirahat teratur dan mulai mengonsumsi suplemen penambah zat besi. Konsumsi makanan tinggi vitamin C diperbanyak, karena vitamin ini dapat membantu penyerapan zat besi. Dalam satu bulan, ia merasakan ada perubahan yang signifikan. Ia merasa lebih fit, badan lebih bertenaga dan tidak mudah lelah.

Dan, ia bisa kembali berolahraga. Seminggu 3-4 kali. Kadang treadmill atau memakai aplikasi olahraga. “Buat ibu-ibu sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak olahraga,. Memakai aplikasi, kita bisa olahraga kapan saja dan di mana saja,” kata penulis buku Parenthink ini.

Mengacu pada pengalamannya, ia menilai penting bagi ibu-ibu untuk mewaspadi bahaya anemia. Tak lain karena ibu adalah ‘roh’ dalam sebuah keluarga. Ibu yang mengalami anemia jadui sering uring-uringan, membuat suami dan anak-anak terkena dampaknya.

“Paling tidak suami bisa merasa disindir: apakah saya tidak bisa membahagiakan istri? Hahaha,” kelakarnya.

Apakah sekarang Mona dan keluarga tidak pernah lagi minum teh yang menjadi kegemaran? “Kamo menyediakan waktu khusus untuk menyeruput the,” katanya. Layaknya orang Inggris, tea time dilakukan sore hari, diikuti ketiga anaknya. “Dulu itu, aku makan di restoran sudah bayar mahal, nggak tahunya zat besi hilang karena langsung minum teh, hahaha.

Kebetulan anak pertamanya, wanita, sudah menstruasi. Ia tahu kapan bisa minum teh dan kapan harus mengonsumsi suplemen zat besi. Ia bisa merasakan bila tubuhnya kekurangan zat besi. Yakni, “Kalau pulang sekolah merasa sangat capek. Tidak bisa melakukan aktivitas lain, maunya leyeh-leyeh, bermalas-malasan dan cepat mengantuk. Tubuh sehat bebas anemia, tandanya masih kuat olahraga atau jalan-jalan,” papar Mona tentang anaknya Davina Shava Felisa (13 tahun).

Donor darah

Setelah tidak lagi mengalami anemia – awam swering menyebutnya sebagai “kurang darah” - Mona ingin berbagi. Ia menjadi donor darah. Beberapa waktu lalu, ia ikut aksi donor darah di sebuah pusat perbelanjaan dalam acara “A Drop For Hopes”.

“Ikut donor darah bisa dijadikan cara untuk tes kadar hemoglobin (Hb). Sebelum menjadi donor, darah akan diperiksa. Bila gadar hemoglobin di bawah normasl, seseorang tidak bisa menjadi donor datah. Kalau Hb-nya cukup, baru bisa,” katanya.

Bisa menjadi donor darah, Mona merasa bahagia dan memunculkan niat untuk rutin mendonorkan darahnya. Tak lain karena donor darah memberi manfaat bagi orang lain dan diri sendiri. Ia menepis anggapan bahwa yang dilakukan bisa membuat berat badannya naik. “Yang benar, dengan donor darah minimal kita tahu berapa tekanan darah dan kadar Hb kita,” ujar Mona. (jie)