Melanie Subono: Virus Paling Parah itu Pikiran | OTC Digest

Melanie Subono: Virus Paling Parah itu Pikiran

“Akibat banjir, bukan sebatas perut mules dan diare. Paska banjir, ada penyakit berbahaya yang bisa menyebabkan kematian.” Bukan dokter yang melontarkan kata-kata ini, melainkan seorang penyanyi rock Melanie Subono, 40 tahun. Puteri promotor musik terkenal Adrie Subono ini memang juga seorang aktivis lingkungan.

Kelahiran Hamburg, Jerman, ini dikenal sebagai sosok yang cuek. Ia tak ingin terlalu dikekang oleh formalitas. Beberapa gambar tato menghiasi tubuhnya dan di depan kamera, ia berani tampil tanpa make up. Logat dan gaya bicaranya lepas.

Pada acara Aksi Anti Kuman (AAK), ia bicara tentang leptospirosis, penyakit yang biasa menyerang paska banjir. Penyakit ini menyebar lewat air yang tercemar kencing tikus, yang mengandung bakteri Leptospira.

Gue belum pernah kena. Tapi, beberapa anjing gue ada yang kena dan mati. Waktu diperiksa,  memang ada leptospira-nya,” ujarnya. Nah, sejak itu setiap kali musim hujan, anjing-anjingnya diberi minum air kemasan.

“Gimana lagi, I love them,” papar perempuan yang juga aktif sebagai penyelamat binatang (animal defender)dan aktivis lingkungan ini.

Bagi Melanie, edukasi ke masyarakat tentang menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan sekitar rumah penting adanya. Jangan sampai, setiap kali musim hujan dan ancaman banjir, kita seperti mau menyambut “ulang tahun”. Maksudnya, “Kalau masuk bulan Januari, kita siap-siap menghadapi banjir. Tahun depan, nanti diulangi lagi.”

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan langkah pencegahan terhadap segala penyakit. Membuang sampah pada tempatnya adalah salah satunya. Sayangnya, masyarakat kita belum paham tentang perilaku hidup bersih.

“Ini bukan soal ekonomi atau tingkat pendidikan. Gue punya teman yang sekolah di luar negeri, tapi kalau lagi di mobil buang tisu ke luar jendela. Lu pikir tisu gak bisa bikin banjir? Kalau banjir kan lu ikut ngomel. Ini masalah mental,” ujar Melanie.

Baginya, membuang sampah di tempatnya adalah perilaku sederhana namun tidak mudah dilakukan, selama masyarakat kita masih menganggap banjir sebagai hal alamiah; bukan karena perilaku yang salah.

“Orang kita terbiasa buang sampah ke sungai atau ke laut. Gue pernah nemuin spring bed di laut Ambon waktu diving (menyelam),” papar perempuan yang pernah menegur Tifatul Sembiring (Menkominfo 2009-2014) lewat surat terbuka, karena dianggap tidak peka terhadap ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Selain hobi diving, Melanie mengelola penangkaran penyu di Pulau Dewata.

 

Rumah tanpa plastik

Sebagai bentuk komitmen terhadap lingkungan, sudah sejak empat tahun terakhir ia ‘musuhan’ dengan plastik. “Nggak ada plastik dibawa masuk rumah,” katanya.

Sampah rumah tangga, khususnya plastik, banyak ditemukan di mana-mana. Sedangkan, plastik  susah diurai. Banyak penyu di penangkarannya yang mati gara-gara menelan plastik. “Penyu nggak bisa membedakan mana plankton, mana ubur-ubur, mana plastik. Ini yang bikin gue  antiplastik. Plastik itu jahat banget, apalagi plastik item yang bau minyak tanah itu.”

Dulu, ia menggunakan kantong plastik hitam yang besar untuk membuang sampah. Kini, ia  memilih menggunakan karung. Sampah rumah pun ia pilah-pilah. Sampah organik dibuat untuk pupuk tanaman. Sisanya “yang gue nggak tahu mau diapain” dibawa ke pembuangan.

“Sebaiknya, kita menggunakan tas plastik dengan bijak. Misalnya, membawa tas plastik sendiri jika berbelanja. Lebih baik lagi jika membawa tas bukan plastik.”

Gue pernah kerja bareng Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), bikin plastik degradable (dapat diurai) dari akar-akaran atau umbi-umbian. Tapi orang kita masih belum mau pake yang itu.”

Bagi perempuan yang juga menulis buku ini – di antaranya Cerita Segelas Kopi, Diary Gue Diary Lo dan Rumah Kita Sama - menjaga lingkungan adalah masalah dan tugas bersama.

“Kita nggak bisa bersikap: ini sampah gue, sampah lu ya urusan lu. Meski sudah menjaga kebersihan, kita bisa kena imbas dari sampah orang lain. Ingat, bumi dan lingkungan nggak butuh kita. Kita yang butuh bumi dan lingkungan.” 

 

Vegan

Aktivismenya sebagai animal defender membawanya pada pilihan untuk menjadi vega (vegetarian murni). Sebelum menjadi menjadi vegan murni, sudah bertahun-tahun sebelumnya ia mulai tidak makan daging, tidak mengonsumsi turunan produk daging, susu, telur.

Awalnya, ia menerapkan prinsip 4-3, “Empat hari vegetarian, tiga hari vegan. Susu, telur, sudah dikurangi.” Ia merasa tidak pantas, jika siang hari mengurus binatang malamya makan daging. “It just doesn’t feel good,” katanya. “Saat vegan 3 hari, gue masaknya pakai olive oil.”

Penganut vegetarian umumnya tidak mau menggoreng dengan minyak sawit, karena pohon kelapa sawit dianggap menyebabkan berkurangnya habitat dan kematian orang utan. Ia menyadari, pilihannya bisa merepotkan orang lain. Itu sebabnya, sebisa mungkin ke mana pergi Melanie membawa bekal.

Tidak hanya anti memakan produk hewani, Melanie juga anti pakaian dari hewan. Ia bahkan menolak tawaran untuk mempromosikan merk sepatu boots dari Amerika lantaran berbahan kulit hewan. Melanie tetap bergeming meski band rock Metallica turut membintangi iklan sepatu tersebut. “Mereka mau masuk Asia dan gue satu-satunya musisi cewek asia untuk produk ini," ujarnya di suatu kesempatan.

Menjadi vegetarian ternyata merupakan metode terapi untuk menyembuhkan diri sendiri, atas tumor yang diidapnya. Melanie menderita tumor rahim sudah cukup lama. Ia kini memilih menerapkan pola hidup sehat daripada mengonsumsi obat-obatan kimia.

“Lagian badan gue nggak drop atau gimana. Jadi belum perlu obat-obatan yang gimana gitu. Gue pernah diradiasi. Lu sebutin deh obat apa, gue sudah jalanin. Badan gue ngerasa jenuh.”

Sampai saat ini, ia tidak tahu pasti apa penyebab tumor di tubuhnya. Hanya, kata dokter, tubuhnya rawan tumor. Ia pernah menjalani operasi pengangkatan tumor seberat 5 kilogram di RS Elizabeth, Singapura. “Belum ada penjelasan pasti soal penyebab tumor. Jadi, ya, gue jalani aja semuanya.” 

Sudah 20 tahun Melanie hidup dengan sel kanker dan tumor. Sudah sekian kali menjalani  operasi. Terakhir, ia dioperasi dua tahun lalu. ”Sekali waktu badan gue bisa kayak junkie, besoknya tiba-tiba enggak lagi," ungkap Melanie.

Kini, ia mencoba menjalani terapi pikiran. Itu karena emosi dan stres dirasa sangat berpengaruh pada pikirannya, sampai terjadi perdarahan di rahim. "Buat gue, virus atau bakteri paling parah itu pikiran. Pernah aku dua tahun enggak menyanyi, enggak menerima tawaran manggung, enggak merokok, enggak minum (alkohol). Tapi, tumor gue mendadak jadi besar banget. Berarti penyebab utamanya ada di otak," katanya.

Meski mengidap penyakit, Melanie terlihat seakan tak memiliki masalah. Katanya, “Apa pun masalah yang dihadapi, gue bawa santai aja.” (jie)