Dewi Motik, Sehat Tanpa Diet | OTC Digest

Dewi Motik, Sehat Tanpa Diet

Suatu malam di Tokyo, Jepang, terjadi gempa. Lampu dan meja kursi bergoyang, benda-benda berjatuhan ke lantai.Serombongan orang Indonesia yang menginap di sebuah hotel, panik dan berlarian ke bawah. Pagi harinya, semua heboh membicarakan gempa.

“Semalam mbak Dewi kok nggak kelihatan?” seseorang bertanya.

“Saya tidur,” kata Dr. Dewi Motik Pramono, MSi.

“Kan ada gempa?”
Kata Dewi, “Mereka bilang saya pemberani. Padahal, saya nggak ikut panik karena tahu rahasianya.”

Menginap di mana pun,  Ketua Umum Kowani (Kongres Wanita Indonesia) periode 2009-2014 dan Presiden ASEAN Confederation of  Women’s Organization (ACWO) periode 2010-2012 ini selalu observasi keadaan. Ternyata, di balik pintu kamar hotel di Tokyo itu ada informasi: Bangunan ini dirancang tahan gempa. Kalau ada gempa jangan takut.

Selain “pemberani”, nenek kelahiran 10 Mei 1949 ini tak kenal lelah dan kesehatannya prima. Ia selalu bersemangat, langkahnya cepat dan kalau bicara ceplas-ceplos. Belum lama ini, ada acara periksa kondisi tulang. Usai memeriksa, petugas saling berbisik.

Petugas meminta Dewi untuk diperiksa ulang. Hasilnya tetap menunjukkan warna “hijau”, yang berarti kondisi tulangnya bagus. Saat general check up yang dilakukan paling tidak setahun sekali, hasilnya juga bagus. “Fungsi jantung, paru-paru, liver, ginjal, tekanan darah, Alhamdulillah, semua normal,” ujarnya.

Padahal, Dewi tidak rajin konsultasi ke dokter. Dewi juga bukan sosok yang disiplin menjalani pola hidup sehat. Jadwal istirahatnya kadang kacau karena sering keluar kota atau luar negeri.

Ia menjaga kesehatan dengan ritual sederhana: minum air putih 8-10 gelas besar, setiap hari. Di atas jam 18.00, diupayakan tak ada lagi makanan masuk ke perut. Dewi tak suka diet-dietan. Ia makan sate, sop konro, nasi gudeg, nasi liwet, sampai fast food.Makan sate domba garut kesukaannya, paling tidak 10 tusuk. Buah kesukaannya pisang, rambutan, mangga. Juga durian.

Hanya saja, mesti pintar-pintar bersiasat. “Sehari menghadiri 4-5 undangan, saya pilih mau makan di mana dan makan secukupnya. Di tempat undangan yang lain, cukup salaman,” katanya.

Di rumah, makan paginya nasi atau roti. Siang, makan apa saja yang dimasak oleh si mbak. Makan di rumah sudah jadi kebiasaan sejak kecil, “Dulu kami nggak boleh jajan. Semua makanan tersedia di rumah, bersih dan sehat.”

Dewi tidak pernah pilih-pilih makanan, tak ada pantangan. Suaminya sama. Sejak beberapa tahun terakhir, ia membiasakan makan nasi merah yang banyak seratnya. Juga mengurangi yang manis-manis dan yang asin-asin. Dengan begitu, “Kalau ke belakang (buang air besar) selalu lancar.”

Bila tidak sedang bepergian, ia tidur  5-6 jam/hari. Kurang tidur, disiasati dengan tidur siang, “Saya gampang tidur dan bisa tidur di mana saja. Di mobil, dalam perjalanan, di kursi.” Tidur 10-30 menit siang hari, cukup untuk memilihkan stamina. Di pesawat sebelum take off, “Saya bisa ngorok.”

Bisa tidur dalam cuaca panas? “Panas atau dingin itu tergantung your mind. Kalau kepengin tidur, saya tidur saja. Di rumah, lihat bantal langsung tidur.”

Olahraga itu wajib. Kegemarannya, renang gaya dada dan gaya bebas. Berenang sekitar satu jam, 2-3 seminggu, di rumah. Sambil duduk pun olahraga bisa dilakukan. “Nih, lihat,” ia memperagakan beberapa gerakan stretching sambil duduk dan berdzikir. Kadang ia dansa bersama cucu atau teman-teman.

Menjaga makanan, istirahat cukup dan olahraga adalah “ilmu dunia” untuk menjaga kesehatan. Dengan itu, di usia kepala 6 Dewi bisa beraktivitas tanpa kendala. Mobilitasnya tinggi tapi tak pernah terlihat lelah atau kehabisan tenaga. Selain jadi pucuk pimpinan organisasi wanita, Dewi adalah pengusaha dan sering tampil sebagai nara sumber atau pembicara di dalam dan di luar negeri.

Ia bergerak dari satu acara ke acara lain, dari pagi sampai malam. Luar biasanya, ia hampir tak pernah sakit. Paling kena flu atau pusing kalau kelelahan dan kurang tidur. Atau diare kalau dalam perjalanan salah makan. Jarang sampai harus ke dokter; cukup minum obat yang dijual bebas.

“Waktu kecil saya suka alergi, gatal-gatal; kaligata orang bilang,” ujarnya. Lama-lama hilang sendiri. Jarang sakit, apakah karena jarang stres? “Siapa bilang? Supir terlambat saja saya bisa stres, padahal saya yang lupa memberitahu untuk datang pagi-pagi,” katanya. “Tapi, kalau stres sebentar saja. Setelah itu, ketawain diri sendiri.”

Ia yakin penyakit datang kalau kita malas gerak, “Dan malas bantu orang. Kalau banyak energi dikeluarkan untuk membantu sesama, Insya Allah, kita akan sehat dan semua urusan lancar.”

Harus pandai bersyukur, ikhlas, amanah. Selalu pikirkan program-program yang positif. “Kita harus berbuat baik. Kalau ada yang berniat jahat, itu urusan dia dengan Yang di Atas.”

Yang di Atas, ini dia. “Manusia kadang aneh. Maunya banyak, kepingin ini itu, tapi nggak mau deket-deket sama Allah.” Bagi Dewi, berdoa itu penting. Juga menjalankan puasa sunah, shalat tahajud, berbagi, dan lain-lain. Hati jadi tenang, kita pun sadar bahwa dunia dan seisinya bukan apa-apa.

“Boleh kita punya cincin berlian. Tapi setiap kali yang dipakai kan cuma satu. Punya sepuluh dipakai semua, diketawain dan dianggap orang gila. Baju bagus nggak mungkin dipakai sampai berlapis-lapis. Manusia terbaik bukan yang pakai cincin berlian dan baju mahal, tapi yang berguna bagi sesamanya.”

Dengan menerapkan “ilmu langit” ini, Dewi selalu percayadiri; termasuk pada yang disebut “mahluk halus”. Di Meksiko ia pernah tidur di kamar besar yang dikenal banyak hantunya. Di Yunani, menginap di hotel tua tengah malam telepon berdering-dering dan seperti ada yang memainkan musik. Lalu, samar-samar seperti ada wanita cantik duduk dekat kakinya.

“Saya bilang, jangan ganggu ya.Saya mau tidur,” katanya. Ia lalu tertidur lelap dan tak ada yang mengganggu.