Peran Ayah dalam Kesehatan Mental Anak | OTC Digest

Peran Ayah dalam Kesehatan Mental Anak

Ayah sering hanya dianggap sebagai pencari nafkah dalam keluarga, sehingga ada atau tidak adanya kehadiran ayah dianggap bukan masalah. Yang penting, kebutuhan finansial tercukupi. Perubahan peran ekonomi wanita dalam keluarga, turut mempengaruhi peran ayah. Peningkatan kekuatan finansial wanita membuat dukungan finansial ayah tidak lagi menjadi sumber yang penting.

Saat ini, kesehatan mental masih menjadi masalah kesehatan yang signifikan di Indonesia. Menurut data Riskesdas 2013, angka kejadian gangguan mental yang bermenanifestasi dalam gejala depresi dan kecemasan anak usia 15 tahun keatas mencapai 14 juta, atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Angka kejadian gangguan mental berat seperti Skizofernia, mencapai sekitar 400 ribu orang atau 1,7 per sejuta penduduk. Tingginya angka ini bisa dipicu adanya perubahan situasi lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, politik, maupun budaya masyarakat.

Banyak yang belum tahu peran ayam dalam kesehatan mental anak. Pada Annual Science Meeting ke-11 FKKMK UGM belum lama ini, dr. Dwijo Saputro, Sp.KJ, menyatakan bahwa keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak, mengurangi risiko terjadinya masalah kesehatan, perilaku, fungsi kognitif dan emosi di kemudian hari. “Pengaruh ayah terhadap perkembangan kesehatan mental anak terjadi secara langsung, dan tidak langsung melalui hubungan yang baik sebagai suami kepada istri dan ayah dengan anak,” ujarnya.

Di masa pertumbuhan, ada faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit mental anak dan faktor-faktor yang bersifat protektif terhadap risiko. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, merupakan salah satu faktor protektif. Selama ini, pengasuhan anak hanya dianggap sebagai tugas ibu. Peran ayah dikesampingkan sehingga pengaruh ayah terhadap pertumbuhan anak menjadi tidak penting.

Keterlibatan ayah secara langsung pada anak usia 7 tahun, akan melindungi terhadap risiko gangguan mental pada remaja. Sedangkan keterlibatan ayah pada usia 16 tahun akan melindungi gangguan mental saat dewasa, khususnya pada anak perempuan. Menghabiskan waktu bersama ayah, akan menstimulasi sifat kompetitif dan kemandirian anak.

Ketidakhadiran sosok ayah secara fisik dan psikologikal, dikaitkan dengan keterbatasan penyediaan sumber finansial dan emosional bagi anak, keterlambatan perkembangan anak, masalah perilaku, serta keterlambatan perkembangan seksual dini pada remaja wanita. (Ade Saputri, Mahasiswa FK UGM)