Pilot Boeing 747 R. Hartanto “Vast But No Room for /Error” (3) | OTC Digest

Pilot Boeing 747 R. Hartanto “Vast But No Room for /Error” (3)

Fasilitas serba nyaman bagi pilot berlangsung sampai tahun 1990-2000. Ketika itu jumlah pilot terbatas karena banyak yang meninggal dalam Perang Dunia II. Dan, hanya kalangan tertentu yang bisa bepergian dengan pesawat, karena tarifnya mahal. Situasi berubah. Kini naik pesawat sudah menjadi hal biasa. Akibatnya, kata Hartanto, ”Sekarang  fasilitas untuk pilot sudah tidak seperti dulu.”

Padahal, dari sisi beban dan tanggung jawab lebih berat, karena lalu lintas pesawat  makin padat. Dulu batas beda ketinggian antar pesawat 2000 kaki, sekarang hanya1000 kaki (sekitar 300 meter). 

“Hanya pesawat yang memiliki perangkat khusus yang diijinkan terbang di wilayah padat. Pesawat hanya boleh naik turun misalnya karena cuaca buruk maksimum 30  meter. Pesawat yang tidak memiliki perangkat khusus harus terbang rendah, yang berarti bahan bakar boros,” ujar Hartanto.

Makin tinggi terbang, bahan bakar lebih irit. Ketinggian lebih rendah, bahan bakar lebih boros. Cadangan bahan bakar perlu diperhitungkan untuk sampai ke tempat tujuan. Dan tiap jenis pesawat memiliki keterbatasan sendiri. Pesawat kecil, misalnya, hanya bisa terbang sampai ketinggian tertentu.

“Menerbangkan pesawat dan membawa penumpang, selain menjual jasa, faktor keselamatan harus diutamakan,” ujarnya. “Penumpang harus diperlakukan seperti orang yang baru pertama kali naik pesawat untuk meninggalkan kesan yang baik, sehingga di lain kesempatan mereka naik pesawat dari perusahaan penerbangan yang sama.”

 

Kaki Gunung Gede

Intinya, menjadi pilot, kontrol diri harus kuat dan harus pandai mengelola stres.

Yang sederhana misalnya menghindari alkohol, rokok, kolesterol tinggi, cukup istirahat sebelum terbang dan rutin olahraga. Hartanto biasa jogging atau jalan cepat, dan tidur cukup bila hendak terbang malam.

Sebelum terbang, pilot wajib ke Flight Operation Briefing Room di bandara, untuk menerima briefing mengenai cuaca dan kemungkinan perubahannya selama terbang maupun cuaca di bandara tujuan serta bandara alternatif. Juga wajib ikut briefing Notam (Notes to Airmen) termasuk restricted area yang jika dilanggar,  pesawat akan ditembak jatuh. Hartanto punya kiat jitu untuk menghadapi semua itu, yakni dengan puasa – terutama Senin Kamis, dzikir dan sholat 5 waktu.

“Puasa itu alat mengontrol ego. Dengan puasa pikiran jernih dan selalu dekat dengan Allah,” ujarnya. Ke mana terbang, ia selalu membawa bekal nasi dan lauk yang dimasak isterinya, Ny. Wahyuni. Puasa di darat, laut dan udara berbeda, “Sunset di udara lebih lama.”

Sejak meninggalkan dunia penerbangan Hartanto dan keluarga memilih menetap di Sukaraja, Sukabumi. Kediamannya yang luas dikelilingi kebun aneka tanaman, sawah dan kolam ikan.

“Lihat,” katanya sambil menunjuk ke utara. Tampak Gunung Gede menjulang. ”Kita ini ada di kaki gunung.”