dr. Alvita Dewi Siswoyo, Sp.KN, M.Kes

Dr. Alvita Dewi Siswoyo, Sp.KN, M.Kes. Di Ujung Tangga Air Mata

Usia 16 tahun, dr. Alvita Dewi Siswoyo, Sp.KN, M.Kes pernah berharap bahwa Tuhan mencabut nyawanya. Pengobatan kanker yang dijalaninya sungguh menyiksa; tiap malam ia tidak bisa tidur lantaran menahan sakit. Orangtuanya harus menjual rumah demi pengobatannya.

Saat ia tengah menangis di kursi roda di sebuah RS di Singapura, seorang ibu berkebangsaan India datang dan memeluknya. Si ibu menunjuk seorang anak perban di kepala yang digendong bapaknya. “Itu anakku. Dia kena kanker otak. Baru dioperasi dan tempurung kepalanya belum tertutup. Tenanglah. Di saat terburuk, Tuhan tidak pernah meninggalkanmu. Kamu harus berjuang.”

Perjumpaan singkat itu mengubah sikap dr. Vita selamanya. Masalah yang dihadapi ibu India dan keluarganya jauh lebih berat, tapi ia masih bisa menghibur orang lain. “Beliau istri seorang pekerja konstruksi biasa. Ia seperti malaikat yang dikirim Tuhan kepada saya. Sejak itu saya ingin menjadi seseorang yang mau digunakan Tuhan, untuk mengubah hidup orang lain,” ujar  dr. Vita (kini 33 tahun).

Sebagai survivor kanker, dr.Vita terpanggil ikut meringankan beban sesama penderita kanker. Terlebih, ia pernah mengidap dua jenis kanker. 

 

Di-bully

Alvita lulus dokter umum dari Universitas Tarumanegara, Jakarta. Saat berusia satu tahun, ia didiagnosa kanker mata (retinoblastoma), membuatnya harus kehilangan mata kiri dan diganti mata palsu.  “Kalau ditanya bagaimana rasanya hidup dengan satu mata, jawaban saya: biasa saja. Saya tidak tahu bagaimana hidup dengan dua mata. Saya bisa mengerjakan segala sesuatu dengan normal,” paparnya.

Vita kecil pribadi yang periang, senang mengikuti banyak kegiatan. Semua berubah saat teman sekolah tahu kekurangannya. Ia diejek, “Vita anak cacat.” Menjadi sasaran bullying, ia jadi pendiam, minder dan menarik diri. Berangkat ke sekolah seperti mimpi buruk baginya. “Saya sering pulang sambil menangis dan mulai merasakan perbedaan dalam diri saya. Saya mulai bertanya tentang kondisi saya,” kenangnya.

 Vita kecil merasa  Tuhan hanya sayang pada orang lain, tapi tidak padanya. Ia cacat, jadi seperti anak tiri. Sang mama, Vera Wibowo, memeluknya dan berujar, “Tidak usah membalas perkataan mereka. Buktikan bahwa kamu bisa melebihi mereka. Jangan mengasihani diri sendiri. Jangan membuat alasan: saya tidak bisa karena… Katakan: saya harus bisa meskipun….”

Berbagai usaha dilakukan sang ibu untuk menguatkan mental Vita dan mengembalikannya menjadi gadis periang. Suatu kali ia dipaksa ikut lomba fashion show. Ia marah, tapi mamanya berkata bahwa ia tidak mengharapkan Vita menang, melainkan ingin agar Vita percaya diri untuk berjalan di atas panggung, karena ia spesial dan unik. “Kata-kata mama membuat saya berpikir saya bukan anak cacat; saya spesial,” papar dokter yang sudah menulis 6 buku ini.

 

Tangga air mata

Sang ayah,  dr. Loekito Siswoyo, adalah role model bagi Vita, membuatnya terus memupuk cita-cita untuk menjadi  dokter. Ia belajar sekuat tenaga agar memperoleh nilai bagus. Namun, saat berusia 16 tahun, ujian berat kembali menerpa.  Ia terserang kanker jaringan tulang lunak (ewing sarcoma) stadium 3 di tumit kaki, yang membuatnya tidak bisa berjalan dan harus selalu di kursi roda.

“Bangunan impian menjadi dokter seakan hancur berantakan,” ujarnya. Pada tahun 1999 ia menjalani kemoterapi di Singapura, dilanjutkan 55 kali radiasi di Indonesia. Orangtuanya menjual rumah untuk biaya pengobatan, lalu tinggal di rumah dinas sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).

Selama berobat, ia sempat tidak masuk sekolah selama 1 catur wulan (4 bulan).  Sekolah menyarankan agar ia konsentrasi pada pengobatan dan mengulang tahun depan. “Saya nggak mau. Saya ingin jadi dokter,” tekadnya. Sekolah memberi kelonggaran. Ia boleh belajar di rumah dan datang untuk ulangan di kantin lantai 1, karena tidak bisa naik ke lantai 3.

Catur wulan berikutnya, sekolah mengharuskan Vita hadir di kelas. Ia memaksa ke sekolah  menggunakan kruk , meski ditentang orangtua.  Mereka takut Vita jatuh dan membuat luka di kakinya bertambah parah.

“Prinsip saya: lebih baik mencoba dan gagal, daripada tidak sama sekali. Maka, saya nekad pakai kruk, naik tangga ke  lantai 3. Orang normal cukup waktu 5 menit, saya butuh setengah jam,” tutur Vita. Kadang ia duduk di tangga dan menangis, hingga ia menamakannya ‘tangga air mata’. “Hidup orang lain kok gampang, saya naik tangga saja susah,” kenangnya.

Kemudian ia berpikir, mungkin Tuhan memberinya kesempatan untuk melatih otot-otot kakinya, yang selama berbulan-bulan tidak terlalu digunakan. Kegiatan naik turun tangga menjadi semacam exercise . Terbukti, “Saya bisa melepas satu kruk saya, dan lama-lama kedua kruk saya lepaskan,” ujarnya.

Singkat cerita, Vita lulus SMA jurusan IPA dan melanjutkan ke Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara, dan  lulus dokter umum di usia 25 tahun. Ia terus menimba ilmu dan mendalami di bidang onkologi (kanker). Ia masuk  Fakultas Kedokteran Universutas Padjajaran, Bandung, mengambil spesialisasi kedokteran nuklir sekaligus program S2 Magister Kesehatan.  

Kanker membuatnya lebih menghargai hidup dan mendekatkan  diri kepada Tuhan. “Saya selamat dua kali dari kanker, berarti Tuhan punya maksud dalam hidup saya. Saya harus menghargai dan harus percaya. Pertama, percaya Tuhan. Kedua, percaya diri sendiri.” Di ujung tangga air mata, ternyata ada kebahagiaan berlimpah.  (jie)