Mengenal Gangguan Ovulasi Pada Wanita | OTC Digest

Mengenal Gangguan Ovulasi Pada Wanita

Gangguan ovulasi pada perempuan bisa berdampak pada kesuburan. Sindroma ovarium polikistik atau PCOS banyak terjadi pada perempuan usia produktif.

Para ahli menyatakan gangguan ovulasi di Indonesia ada dua: pada wanita usia muda (<34 tahun) dan wanita usia lebih tua (>34 tahun). Pada usia 34 tahun ke atas, lebih terkait dengan faktor usia, di mana kemampuan sel telur untuk dibuahi mulai menurun.

“Sementara pada usia muda, gangguan ovulasi biasanya berkaitan dengan gaya hidup: ke mana-mana ogah jalan kaki dan lebih sering naik kendaraan, sering makan  junk food dan fast food, dan faktor lingkungan seperti polusi,” papar dr. Andon Hestiantoro, Sp.OG dari FKUI/RSCM, Jakarta.

Sindrom ovarium polikistik atau PCOS (polycystic ovary syndrome) dan hiperprolaktinemia adalah gangguan ovulasi yang paling sering dijumpai. Keduanya berkaitan erat dengan ketidakseimbangan hormon.

Ovulasi adalah saat ketika sel telur yang sudah matang keluar dari folikel di indung telur, dan bergerak menuju saluran telur (tuba falopi) untuk dibuahi. Untuk menghasilkan ovulasi, hormon-hormon dalam tubuh harus bekerja sama; mereka berfluktuasi dan harus berada pada level yang tepat. Ini penting untuk merangsang pertumbuhan satu folikel telur dan menjaganya hingga matang dan siap dibuahi.

LH (luteinizing hormone) dan FSH (follicle stimulating hormone) adalah sepasang hormon yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pematangan folikel. Selanjutnya, bekerjasama dengan estrogen, LH dan FSH merangsang folikel untuk keluar dari indung telur menuju tuba falopi. Ketidakseimbangan hormon dapat mengganggu proses ini.

Pada PCOS, sering kadar hormon androgen (hormon pria) terlalu tinggi, dan hiperprolaktinemia berarti kadar prolaktin terlalu tinggi. Hormon prolaktin dibutuhkan untuk memroduksi ASI (air susu ibu) dan di luar masa menyusui, kadar hormon ini tidak boleh tinggi. Kadar androgen dan prolaktin yang terlalu tinggi akan mengganggu kerja kelenjar pituitari di otak dan indung telur dalam memroduksi hormon yang penting dalam proses ovulasi.

Tubuh memiliki mekanisme untuk menjaga agar kadar prolaktin tetap normal. “Ada remnya, yang disebut prolactin inhibiting factor,” kata dr. Andon. Kondisi tertentu dapat mengganggu mekanisme ini. Bagi yang sering bergadang, banyak makanan berlemak dan puting susu sering tergesek-gesek oleh pakaian misalnya karena tidak mengenakan bra, perlu berhati-hati, “Karena bisa merangsang terjadinya penimbunan kadar prolaktin sehingga mengganggu kesuburan.”

Adapun PCOS adalah biang keladi utama gangguan ovulasi. Pada PCOS, folikel sempat berkembang, namun pertumbuhannya terhenti sehingga ovulasi tidak terjadi. Lewat pemeriksaan USG, akan tampak folikel-folikel yang membesar pada indung telur, seperti untaian kalung mutiara.

PCOS tidak hanya mengganggu kesuburan, namun juga kondisi fisik. ‘Kalung mutiara’ di indung telur sangat tinggi hormon androgen, sehingga terjadi kondisi hiperandrogen. Ini akan mengganggu proses ovulasi.

Tapi, apa pengaruhnya terhadap tubuh perempuan? “Hiperandrogen menyebabkan jerawat dan hipersutisme atau pertumbuhan bulu-bulu halus yang menyerupai pola rambut laki-laki: di daerah kumis, janggut, cambang, dada. Ini tanda-tanda klinis hiperandrogen,” dr. Andon menjelaskan.

Disarankan untuk konsultasi ke dokter, jika siklus haid tidak teratur. Ajak serta suami. “Sejak awal, suami juga wajib diperiksa, sehingga penyebab dari kedua pihak segera diketahui. Hasilnya akan menentukan terapi yang perlu dijalani,” kata dr. Andon. (nid)