Kontrasepsi: Hak Perempuan untuk Menentukan | OTC Digest
hak_kontrasepsi_perempuan_kb

Kontrasepsi: Hak Perempuan untuk Menentukan

Misi penjelajahan Mars sudah begitu dekat, tapi masih saja ada perempuan yang tidak diperbolehkan menggunakan kontrasepsi oleh suaminya. Tak terkecuali perempuan milenial, yang memang tengah berada dalam usia reproduktif.

Penggunaan kontrasepsi memang selayaknya keputusan bersama, tapi perempuan sangat berhak untuk menentukan, karena kehamilan dan persalinan terjadi pada tubuh perempuan. Mengontrol kehamilan adalah hak asasi perempuan. Tidak seharusnya suami melarang istrinya menggunakan kontrasepsi, bila tidak ada alasan logis dan krusial.

“Menentukan jumlah anak adalah pilihan tiap pasangan suami istri. Namun kadang, dominasi dari suami sangat kuat,” ungkap dr. Boy Abidin, Sp.OG. Tak jarang suami memaksakan kehendak punya banyak anak, padahal istri sudah tidak mau lagi punya anak. Dokter kandungan dan kebidanan yang praktik di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading ini sangat menyesalkan, kadang perempuan tidak punya kuasa untuk memutuskan jumlah anak, dan dipaksa menurut pada keinginan suami.

Baca juga: 6 Manfaat Kontrasepsi untuk Perempuan

Jumlah dan jarak kelahiran anak harus diatur. “Terlalu sering melahirkan bisa membahayakan keselamatan ibu. Bila ibu sampai mengalami perdarahan saat persalinan, nyawanya bisa tidak tertolong,” terang dr. Boy, dalam Peringatan Hari Kontrasepsi Dunia 2019 di Jakarta, 26 September lalu, yang bertema The Power of Options. Ya, perempuan milenial memiliki power untuk memilih.

Lain ceritanya bila suami yang proaktif dan memutuskan untuk vasektomi, sehingga istri tak perlu repot menggunakan kontrasepsi. Vasektomi dan tubektomi (pada perempuan) lebih disarankan pada pasangan yang sudah betul-betul yakin tidak lagi mau menambah anak, karena sifatnya permanen. Sebaiknya suami yang melakukan vasektomi ketimbang istri yang tubektomi, karena prosedur vasektomi jauh lebih sederhana, dan tergolong bedah minor (operasi kecil). Idealnya memang, laki-laki yang menjalankan kontrasepsi; berbagi tugas mengingat istri sudah hamil dan melahirkan. Namun bila suami tidak berniat untuk ambil bagian dalam kontrasepsi, maka perempuan berhak memutuskan untuk menggunakan kontrasepsi, dan suami wajib mendukung keputusannya.

 

Rencanakan dan atur jarak kehamilan sejak awal

Mengatur jarak kehamilan tak hanya demi keselamatan ibu, tapi juga kesejahteraan anak dan keluarga. Idealnya, jarak antar kehamilan yakni 2 – 5 tahun. Dengan rentang waktu demikian, tubuh ibu punya cukup waktu untuk memulihkan diri dan status nutrisinya bisa kembali baik sebelum hamil lagi. Anak pun bisa mendapat ASI sampai 2 tahun, dan mendapat kasih sayang yang penuh dari kedua orangtua selama periode perkembangan optimalnya, sebelum akhirnya berbagi dengan adik. Studi menemukan, frekuensi pertengkaran antara kakak dan adik paling sering terjadi pada jarak usia <2 tahun.

Secara psikologis, ibu pun lebih bahagia. Bagaimanapun, ibu tetap perlu menikmati hidup. Jarak kelahiran yang terlalu pendek akan membuat ibu sangat repot sehingga tidak punya waktu untuk diri sendiri. “Padahal me time itu sangat dibutuhkan. Yang penting, pastikan anak berada di tempat yang aman dan selamat saat ibu mengambil waktu untuk me time,” ujar psikolog Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si.

Baca juga: Memilih Kontrasepsi yang Cocok

Tuntutan orangtua dan/atau mertua untuk segera punya anak atau menambah jumlah anak, hingga mitos negatif mengenai kontrasepsi menambah tantangan bagi ibu untuk berkontrasepsi. “Semua ini membuat ibu jadi sulit; kesannya tidak ada pilihan. Akhirnya terjadi kehamilan yang tidak direncanakan,” sesal Anna.

Dampak buruk dari kehamilan yang tidak direncanakan memengaruhi seluruh fase kehidupan ibu maupun anak. “Di awal kehamilan, ibu kaget. Kadang tanpa disadari, terjadi penolakan secara psikologis,” ujar Anna. Bisa jadi ibu jadi malas makan, dan keluhan mual muntah di awal kehamilan pun terasa lebih berat.

Selama hamil, ibu jadi tidak happy bahkan stres. Ini membuat kadar hormon kortisol ibu sangat tinggi, dan bisa menghambat tumbuh kembang janin. Masalahnya tidak selesai di sini. “Ketika anak lahir, sering kali ikatan antara ibu dan anak tidak terlalu dekat. Jangan pernah terucap di depan anak bahwa kelahirannya adalah ‘kecelakaan’, karena akan memengaruhi konsep dirinya,” tutur Anna.

Inilah pentingnya kontrasepsi. Bukan menolak kehendak Sang Pencipta untuk punya anak, tapi justru mempersiapkan kehamilan sebaik mungkin, sehingga ketika dianugerahi momongan, ibu sudah benar-benar siap lahir dan batin. Di usia 20 – 35 tahun, kontrasepsi berfungsi untuk menjarangkan kehamilan, sehingga bisa diatur jarak yang ideal.

 

Kontrasepsi modern

Di era milenial ini, kontrasepsi modern sudah sangat canggih dibandingkan kontrasepsi zaman kolonial. “Cara pakainya lebih mudah, efek samping minimal, bahkan ada efek non kontraseptif yang menguntungkan,” ujar dr. Boy. Secara umum, kontrasepsi dibagi menjadi hormonal dan non-hormonal. Non -ormonal misalnya kondom dan IUD (intra uterine device) atau disebut juga spiral.

Secara statistik, kontrasepsi hormonal lebih efektif, dengan angka kegagalan <1%. Metode hormonal antara lain pil, suntik, implan (susuk), dan IUS (intra uterine system) yakni spiral yang mengandung hormon. Untuk menjarangkan kehamilan, pil termasuk metode yang banyak dipilih. “Hormon pada pil kontrasepsi modern berbeda dengan pil zaman dulu. Hormon yang digunakan sekarang makin mendekati hormon alami sehingga lebih aman,” jelas dr. Boy. Dosisnya pun jauh lebih kecil dibandingkan dulu.

Baca juga: Implan, Metode Kontrasepsi yang Efektif tapi Terlupakan

Tidak ada lagi keluhan gemuk atau jerawat, seperti yang dulu banyak dikeluhkan saat mengonsumsi pil kontrasepsi. Pil umumnya menggunakan kombinasi progestin (progesterone sintetis) dan estrogen. “Progestin generasi terbaru seperti drospirenon memiliki efek non kontraseptif berupa antiandrogen. Ini yang membuat kulit lebih cantik dan bebas jerawat,” lanjut dr. Boy.

Pilihan metode kontrasepsi sudah sangat beragam, tinggal sesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing. Pelajarilah bersama pasangan mengenai manfaat dan kemungkinan efek samping dari tiap metode kontrasepsi. Komunikasi yang baik tetap harus dibangun; bagaimanapun, kehidupan berumah tangga berpangkal dari komunikasi. “Pembicaraan seputar kontrasepsi harus dilakukan sebelum menikah, karena kehamilan harus direncanakan dan dipersiapkan sejak awal,” tandas Anna. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Business photo created by senivpetro - www.freepik.com