Program Vaksinasi HPV Tahun Ini Terhambat, Ini Risiko yang Mungkin Terjadi
program_vaksinasi_hpv_terlambat

Pelaksanaan Vaksinasi HPV Terhambat, Ini Risiko yang Mungkin Terjadi

"Sekitar 120.000 anak perempuan terancam tidak dapat vaksinasi HPV lanjutan," ujar Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) Prof. Andrijono, Sp.OG. Hal ini diungkapkannya ketika dihubungi melalui telepon, terkait keterlambatan pelaksanaan vaksinasi HPV untuk anak sekolah tahun ini. 

Vaksinasi HPV diharapkan menjadi program nasional tahun ini. Namun alih-alih disahkan jadi program nasional, pelaksanaannya justru terhambat. Sekadar informasi, proyek percontohan vaksinasi HPV pertama kali dilakukan di Jakarta pada 2016. Proyek ini selanjutnya juga dilaksanakan di lima daerah lain (Yogyakarta di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo, Surabaya, Makassar, dan Manado) pada 2018. Sangat disayangkan, akibat pergantian kabinet dalam pemerintahan, vaksinasi HPV tahun ini belum juga dilaksanakan. “Vaksinasi HPV anak sekolah harusnya dilakukan bulan November. Tapi hingga saat ini pertengahan Desember, belum juga ada tanda akan segera dilaksanakan,” sesal Prof. Anrijono yang juga pendiri Koalisi Indonesia Cegah Kanker Serviks (KICKS).

Vaksinasi HPV yang mulai dijalankan di beberapa daerah di Indonesia, menyasar siswi kelas 5 SD/sederajat atau sekira usia 10-11 tahun. Dosis pertama di kelas 5 SD, dan dosis kedua setahun kemudian, saat mereka duduk di kelas 6 SD/sederajat. “Menurut WHO, dosis vaksin kedua harus diberikan maksimal satu tahun setelah dosis pertama,” tegas Prof. Andrijono.

Baca juga: Pelaksanaan Vaksinasi HPV Butuh Komitmen Pemerintah

Vaksin HPV (Human Papilloma Virus) adalah pencegahan primer untuk kanker serviks (leher rahim), kanker pembunuh perempuan nomor dua di Indonesia. Vaksin ini bisa diberikan sejak usia 9 tahun. Pada usia 9 – 13 tahun, pemberian vaksin hanya dua dosis, sedangkan pada 14 tahun ke atas diberikan dalam tiga dosis. Vaksinasi HPV di usia dini tak hanya lebih ekonomis, tapi juga memberi proteksi yang lebih baik karena antibodi yang terbentuk lebih optimal, dibandingkan bila vaksin diberikan pada usia yang lebih dewasa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, vaksinasi HPV (2 dosis) untuk anak perempuan usia 9 – 13 tahun merupakan salah satu intervensi yang kategori intervensi ‘best buys’ yang cost effective.

Sejak dilaksanakan pada 2016, program percontohan vaksinasi HPV berjalan lancar, dengan cakupan >90%. “Baru kali ini terlambat, karena ada masalah dalam hal ketersediaan vaksin HPV,” ungkap Aryanthi Baramuli, Ketua Umum CISC (Cancer Information and Support Group), saat dihubungi terpisah.

Menurutnya, pemerintah harus lebih mementingkan masa depan putri bangsa dengan segera menyediakan vaksin HPV untuk siswi SD, supaya program bagus ini bisa segera dilanjutkan. “Dasar hukum pengadaan vaksin HPV sudah ada, yakni Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah No. 11/2018,” lanjut Aryanti yang juga anggota KICKS.

Baca juga: Perjuangan Jupe dan Upaya Pencegahan Kanker Serviks

Belum bisa dipastikan apa dampaknya bila dosis kedua diberikan setelah lewat satu tahun dari dosis pertama. Prof. Andrijono mengungkapkan, dalam waktu dekat akan dilakukan kajian ilmiah terkait hal ini, serta upaya yang bisa dilakukan agar program vaksinasi HPV bisa kembali dilaksanakan, dan akhirnya menjadi program nasional.

Di Indonesia, 2 perempuan meninggal dunia setiap 1 jam akibat kanker serviks (Globocan 2018). Berbagai studi menemukan, program vaksinasi pada gadis remaja efektif menekan angka kanker serviks. “Saya khawatir bila anak kelas 5 SD yang tahun lalu sudah mendapat suntikan dosis pertama tapi hingga saat ini belum mendapat dosis kedua, proteksi vaksin jadi kurang efektif,” ungkap Aryanthi. Anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk vaksin dosis pertama pun jadi sia-sia, bila dosis kedua tidak diberikan. Proteksi dari vaksin tidak akan optimal bila vaksin hanya diberikan satu dosis.

Baca juga: Saatnya Bertindak! Cegah dan Deteksi Dini Kanker Serviks Sekarang

“Dan bila program vaksinasi HPV terhambat, tujuan untuk proteksi terhadap kanker serviks bisa tidak tercapai,” imbuh Aryanthi. Efek domino bila program vaksinasi HPV tidak dilanjutkan, angka kanker serviks di Tanah Air tidak akan turun, dan pembiayaan JKN akan terus membengkak untuk mengobati kanker serviks.

Vaksin HPV yang digunakan dalam program adalah vaksin kuadrivalen, yang melindungi dari empat tipe HPV (tipe 6, 11, 16, dan 18). Vaksin ini terbukti aman dan efektif, serta telah mendapat sertifikat Halal dari IFANCA (Islamic Food and Nutrition Council of America). Sertifikat Halal tidak hanya dikeluarkan oleh MUI; sertifikat yang dikeluarkan oleh IFANCA telah diakui oleh LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia).

Kanker serviks adalah satu-satunya kanker yang bisa dicegah dengan vaksin. Vaksin yang diberikan secara nasional pada siswi SD akan sangat bermanfaat untuk menurunkan angka kanker serviks di masa depan. “Semoga pemerintah segera melaksanakan program ini di bulan Desember, agar di kemudian hari kasus kanker serviks bisa turun, dan biaya BPJS Kesehatan juga lebih rendah,” tegas Aryanthi. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Kids photo created by freepik - www.freepik.com