Menyiasati Picky Eater, Orangtua Jangan Memaksakan Kehendak | OTC Digest
picky_eater_curcuma_kurkuma

Menyiasati Picky Eater, Orangtua Jangan Memaksakan Kehendak

“Pilih-pilih makanan sebenarnya adalah bagian dari tahap perkembangan anak. Ini menunjukkan bahwa anak mampu menunjukkan apa yang dia mau,” ungkap Tari Sandjojo, Psi. Menurut riset, 6-7 dari 10 anak punya kecenderungan pilih-pilih makanan. Biasanya, perilaku ini muncul di usia 2-3 tahun. Penelitian yang dipublikasi di Jurnal Gizi Indonesia 2018 menyatakan, perilaku picky eating anak usia prasekolah di Indonesia mencapai 52,4%.

Perilaku memilih makanan memang kerap membuat orangtua pusing. Tidak jarang kita stres menghadapi anak yang susah membuka mulutnya di waktu makan, hingga makan bisa berjam-jam lamanya. Kita pun khawatir, anak tidak mendapat cukup nutrisi. Ini wajar. Namun ternyata, memilih makanan adalah indikasi bahwa mulai bisa menentukan pilihannya. “Itu sebenarnya pertumbuhan kemampuan kognitif anak yang menakjubkan,” imbuh Tari.

Bukan berarti lantas perilaku ini didiamkan saja. Anak tetap perlu dibantu. “Anak yang picky eater cenderung menjadi anak yang sulit beradaptasi dengan hal baru. Mereka lebih suka berada di zona nyamannya,” jelas Tari, dalam peluncuran Susu Curcuma Plus di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Banyak faktor yang bisa memicu terjadinya perilaku picky eater. Misalnya paparan makanan di usia dini yang tidak sesuai dengan usia anak, atau makanan yang tidak bervariasi sehingga anak bosan. Bisa pula karena memang kepribadian anak yang tidak mau mencoba hal baru. Faktor lain yakni pengaruh lingkungan, misalnya tekanan saat makan.

Tanpa sadar, mungkin kita kerap memaksakan anak menghabiskan makanannya, meski itu membutuhkan waktu berjam-jam. “Harusnya, makan hanya 30 menit, selesai atu tidak,” ujar Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K).

Kita harus ingat, anak bukanlah orang dewasa berukuran mini; ukuran lambung anak jauh lebih kecil daripada orang dewasa. Maka, tidak masuk akal bila kita mengharapkan anak menghabiskan sepiring penuh makanan. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering. Ini jauh lebih baik ketimbang memaksa anak menghabiskan seporsi besar makanan dalam 3x makan besar.

Ketegangan juga kerap muncul ketika anak hanya mau makan yang itu-itu saja. “Sebetulnya boleh-boleh saja, asal kebutuhannya tercukupi. Ada karbohidrat, protein, sayur, juga buah,” ujar Prof. Rini. Namun, sering kali sayur ditolak. Bila anak menolak suatu jenis makanan tertentu, maka orangtua harus kreatif menyiasati, “Beri contoh kepada anak. Cobalah biasakan makan bersama di meja makan,” ucap Prof. Rini.

Ia menambahkan, pada anak usia 3 tahun ke atas, kendali pemilihan makanan ada pada anak. Anak diperbolehkan memilih, orangtua mengarahkan ke pilihan yang baik. Anak juga berhak memutuskan seberapa banyak dia mau makan.

Anak ogah makan sayur? Selipkanlah potongan sayur ke makanan kesukaannya, atau olah sayur menjadi hidangan menarik sesuai selera anak. Misalnya ia suka makanan yang digoreng garing, olah saja sayur menjadi bakwan.

Yang pasti, variasikan menu makanan agar anak tidak bosan. Bermainlah dengan bumbu, rasa, dan tekstur makanan yang berbeda. Jangan bosan memperkenalkan makanan baru. Bila anak menolak, coba lagi di waktu-waktu berikutnya. Mungkin perlu 10-20 kali hingga anak bisa menerima makanan baru. Usaha yang kita lakukan ini juga akan membantu anak beradaptasi dengan hal baru.

Variasikan pula kegiatan makan. Misalnya seperti acara piknik, dengan menggelar alas duduk, dan meletakkan makanan di keranjang piknik. Tidak piknik betulan di taman. Bisa di pekarangan, teras, bahkan mungkin di ruang makan.

Sayangnya, situasi picky eating yang memang menantang, tak jarang membuat orangtua mengambil jalan pintas. “Anak dikasih susu sebanyak-banyaknya, yang penting dia kenyang, tidak rewel, dan saat ke dokter anak, berat badannya cukup,” sesal Tari. Susu bisa menjadi bagian dari sumber nutrisi anak, tapi bukan sebagai makanan utama. Cukup 2 gelas sehari; jangan menjadi 6 gelas untuk menggantikan makan yang kurang.

Masalah picky eating juga pernah dihadapi oleh Nagita Slavina. “Rafatar juga sempat tidak mau makan, maunya minum susu terus. Aku cerita ke teman-teman, ternyata banyak juga yang mengalami,” ujar Nagita.

Ia sadar bahwa susu hanya pelengkap, tidak bisa menggantikan makan. “Yang pasti harus sabar,” tandasnya. Salah satu siasatnya, ia coba cari makanan pengganti. Misalnya Rafatar tidak mau makan nasi, maka ia cari sumber karbohidrat yang lain. Makanan dibuat jadi bentuk yang menarik, dan mengusahakan makan bersama. “Tidak bisa dalam satu-dua hari langsung berhasil. Pasti ada kesalnya. Balik lagi, harus sabar,” tuturnya.

Menyiasati perilaku picky eating tidak sekadar agar anak mau makan dan tidak kekurangan nutrisi. Lebih dari itu, juga untuk membuat anak menikmati kegiatan makan, yang pada akhirnya akan membantu perkembangannya secara psikologis. Dalam kegiatan makan yang menyenangkan, kita bisa membangun komunikasi dengan anak, hingga menstimulasi pengalaman motorik dan sensorik anak melalui bentuk, rasa dan warna. (nid)

__________________________________

Ilustrasi: https://www.freepik.com/index.php?goto=74&idfoto=1632135&term=child%20ve...