Mengenali Penyakit Jantung Bawaan | OTC Digest
penyakit jantung bawaan pada anak

Mengenali Penyakit Jantung Bawaan

Dido, 4 tahun, hobinya main bola meski hanya tendang sana lempar sini. Ketika diperhatikan, ujar ibunya, “Dido gampang lelah, baru bermain 10 menit sudah ngos-ngosan.” Ketika dibawa ke dokter dan dilakukan pemeriksaan, diketahui bahwa ada kelainan jantung. Sekat di bilik kiri jantung Dido bocor.

Anak bahkan bayi memang bisa sakit jantung. Penyakit Jantung Bawaan (PJB) atau congenital heart disease cukup banyak terjadi. Healthday News mencatat, di Amerika Serikat satu dari 33 anak menderita PJB, sedangkan angka di dunia 1:100-200.

Menurut dr. Michael Katz dari Columbia University, AS, kelainan jantung bawaan karena perkembangan organ jantung pada janin kompleks, sehingga kemungkinan bisa terjadi kelainan. Menurut dr. Dewi Andang Joesoef, dari Yayasan Jantung Indonesia (YJI), PJB jarang disebabkan faktor genetik, tapi lebih karena faktor lain. “Biasanya karena pengaruh obat, seperti saat usia kandungan di bawah 4 bulan, ibunya minum obat sembarangan. Akibatnya pembentukan jantung janin ada sekatnya yang bolong dan klepnya tidak terbentuk,” paparnya.

Faktor lingkungan turut berpengaruh. Misalnya, ibu yang terinfeksi virus Rubella  atau mengonsumsi alkohol & merokok saat hamil. Penyakit tertentu pada ibu ikut meningkatkan risiko PJB. Misal, ibu dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol selama hamil.

Demikian juga ibu dengan penyakit keturunan phenylketonuria (PKU), yang saat hamil pola dietnya tidak terjaga. PKU merupakan kelainan pembentukan asam amino phenylalanine, yang menjadi racun di tubuh. Juga kelainan kromosom; sekitar 3% anak dengan PJB memiliki kelainan kormosom.

Gejala

Gejala yang muncul tergantung tingkat keparahan PJB, sebagian penderita bahkan tidak menunjukkan gejala. Anak lain mengalami sesak napas, cyanosis (kulit kebiruan karena kurang oksigen dalam darah), nyeri dada atau bayi tidak kuat menyusu lama.

Darah berisi sari makanan, yang seharusnya diedarkan ke seluruh tumbuh justru nyasar ke organ lain, seperti ke paru-paru dan bercampur dengan darah kotor. Akibatnya pertumbuhan anak terhambat, berat badan susah naik, paru-paru harus bekerja ekstra karena banyak darah yang masuk ke paru-paru, dan daya tahan tubuh anak lemah.

Pada anak usia 0-2 tahun, sebagian besar lubang ukuran kecil akan menutup sendiri. Operasi penutupan sekat pada bayi dilakukan jika terjadi gagal jantung kongestif (jantung tidak kuat memompa darah), atau penyakit pembuluh darah pulmonal (misalnya pembengkakan di pembuluh darah paru-paru).

Kata dr. Budi Setyanto, SpJP, dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, “Usai pembedahan, gejala paling umum seperti batuk-batuk biasanya hilang. Pasien akan kembali normal seperti anak umumnya.”

Prosedur operasi berupa bedah jantung terbuka, atau dengan angioplasty memakai balon untuk menghilangkan hambatan / penyempitan pembuluh darah. Prosedur lain dengan transcather device occlusion (TDO); lubang ditutup tanpa harus melakukan pembedahan. (jie)