dampak psikologis main Gadget untuk Anak

Gadget untuk Anak Perlu Dibatasi

Penelitian di Jakarta oleh mahasiswi psikologi Universitas Indonesia (UI) tahun 2013 menemukan, sebagian besar orangtua menganggap kecerdasan anak berasosiasi dengan bermain gadget (gawai). “Gawai dan mainan seperti lego, balok konstruksif dan puzzle menjadi pilihan utama orangtua agar anak pintar,” ujar psikolog keluarga Astrid WEN, M.Psi, pendiri PION Clinition dan inisiator Theraplay Indonesia, dalam diskusi bersama Forum Ngobras dan Asuransi JAGAGIRI beberapa waktu lalu di Jakarta.

Mainan seperti boneka handuk yang lembut tidak dilirik.”Padahal, ini baik untuk perkembangan emosi anak, dan membantu mengatasi kecemasan,” imbuh Astrid.

Betulkah anak lebih pintar bila bermain gawai? “Interaksi dengan manusia adalah pembelajaran terbaik,” tegas Astrid. American Academy of Pediatric mengemukakan, penggunaan layar elektronik pada anak 0-2 tahun tidak disarankan. Kalau ingin memberikan media interaktif, seperti tayangan yang mengajak bermain atau bernyanyi bersama, maksimal 30-60 menit/hari. Untuk anak >2 tahun, maksimal 1-2 jam/hari dan, “Sebaiknya dipecah-pecah, tidak langsung satu jam.”

Ada dua masalah yang bisa ditimbulkan gawai pada anak-anak: konten (pornografi, kekerasan) dan durasi. Bisa berjam-jam waktu dihabiskan anak bermain gawai, mengorbankan waktu untuk bereksplorasi, bergerak, berinteraksi, istirahat dan bermain. “Waktunya jadi berantakan, padahal anak butuh keteraturan untuk bisa meregulasi diri,” terang Astrid.

Waktu untuk mengembangkan kemampuan berpikir ikut tersita. Saat mendapat informasi, otak perlu waktu untuk mengolah dan mencerna. Muatan informasi dari gawai yang didapat anak banyak sekali sehingga overload, membuat anak tidak punya waktu untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Akhirnya, anak tidak tumbuh menjadi orang yang dapat merefleksikan dan mengekspresikan diri.

Dampak lebih jauh, anak tidak memiliki kontrol diri yang baik dan empatinya terganggu. “Bagaimana bisa peduli orang lain, kalau terhadap diri sendiri dia nggak peduli,” tutur Astrid. Kemampuan bersosialisasi kurang terasah, sehingga anak kesulitan berteman, merasa kesepian, berisiko mengalami depresi dan gangguan kecemasan.

Tak perlu anti-gadget. Tapi, jangan jadikan gawai untuk ‘menggantikan’ peran orangtua. Tanpa sadar, kita suka mengalihkan perhatian anak ke gawai, agar mereka tidak rewel dan ‘mengganggu’ saat orangtua melepas penat sepulang bekerja. (nid)