Bermain Bersama, Cegah Anak Kecanduan Gawai | OTC Digest

Bermain Bersama, Cegah Anak Kecanduan Gawai

Hari Minggu di kediaman keluarga Harsono. Dewi, sang istri, sedang bermain dengan si kecil Dira yang baru berusia 2 tahun. Raka (7 tahun), kakak Dira, sibuk nge-game dengan PlayStation-nya. Sang ayah membaca berita lewat iPadnya.

”Ayo kita makan siang. Sudah lapar nih,” ajak Ny. Dewi sambil menggendong Dira. Tidak ada jawaban atau reaksi dari suami maupun Raka. Kalau sudah nge-game atau main iPad, siapa pun sepertinya memang bisa lupa makan.

Kejadian seperti jamak terjadi dalam keluarga. Hadirnya gawai seakan menyita seluruh perhatian, sehingga lupa pada hal-hal lain. Dra. Ratih Ibrahim MM. Psi dari Personal Growth Counseling and Development Center, mengatakan gawai dan teknologi informasi (hand phone, iPad, PlayStation, game net, dll) mempunyai daya tarik dan stimulasi yang kuat berkat gambar, warna dan tampilan yang cerah dan dinamis.   

“Ketika beralih dari gawai dan melihat ibunya, seperti slow motion. Stimulasinya lambat. Akibatnya, anak gampang bosan. Ia tidak terangsang untuk memusatkan perhatian pada bundanya,” ujar psikolog cantik ini.

Tidak berarti orangtua harus anti-gawai. Yang perlu dilakukan adalah mengatur waktu, kapan anak harus belajar dan kapan boleh bermain dengan gawai-nya. Gawai tak bisa dihindari karena sekarang kita hidup di jaman itu. Tapi, jangan sampai kalau tidak ada alat-alat tersebut anak menjadi galau dan seperti tidak berkutik. “Sebaiknya, pada anak di bawah usia 5 tahun hanya boleh nge-game 10-15 menit,” ujarnya.

Baca juga : Kenali Bahaya Kecanduan Gawai

Setelah itu, orangtua mengambil alih peran gawai dengan bermain bersama atau melakukan kegiatan fisik lainnya. Kegiatan harus yang menyenangkan. “Setelah remaja, anak jadi tahu, misalnya setelah main game satu jam akan berhenti dan melakukan kegiatan lain sebelum boleh main game lagi,” terang Ratih.

Terlalu banyak bermain game membuat anak cuek, juga membuat pertumbuhan otot anak tidak kencang. “Memang ototnya aktif, tapi tidak peka jika ditanya tentang sekitarnya. Yang diluar gawai, menjadi tidak real buat anak,” ujarnya.

Quality time 

Membatasi waktu anak bermain game bisa dilakukan, asal kedua orangtua telaten melatih anak mereka. Masalahnya, orangtua yang justru memberikan gawai karena tidak mau capek mengurus anak. Atau, hanya punya sedikit waktu bersama anak. Gawai menjadi semacam kompensasi atas ketidakhadiran mereka.

Mengatasi keterbatasan waktu bertemu anak, sebenarnya, bisa dilakukan dengan  menciptakan quality time meski waktunya tidak lama. Yakni, luangkan waktu bersama orang-orang tercinta (keluarga). Bisa dengan bermain atau melakukan kegiatan yang menyenangkan, sehingga perhatian anak terpusat pada orangtua.

“Kegiatan bisa sederhana saja, tapi fun. Misalnya berguling-guling bareng, main dokter-dokteran dengan ayahnya atau loncat-jongkok sambil berhitung. Semua aspek terpenuhi: motorik, kognitif dan sosialnya,” pungkas Ratih. (jie)