“Stunting”, Anak Gagal Tumbuh karena Kurang Nutrisi | OTC Digest
stunting_pendek_otak_dr. damayanti

“Stunting”, Anak Gagal Tumbuh karena Kurang Nutrisi

“Stunting adalah masalah gizi terbesar di Indonesia,” ungkap Dr. dr. Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K), Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik FKUI/RSCM. Di seluruh provinsi di Indonesia, angka stunting tidak ada yang kurang dari 20%. Bahkan di DKI Jakarta saja, mendekati 30%. Tak heran bila kita menempati urutan 5 stunting terbanyak di dunia, dengan angka stunting 36%.

Stunting adalah perawakan pendek akibat kurang nutrisi, atau kondisi kesehatan yang kurang baik. Intinya stunting adalah persoalan gagal tumbuh; anak gagal tumbuh optimal sebagaimana seharusnya.

Kondisi ini bisa dimulai karena ibu kurang nutrisi saat hamil sehingga bayi lahir prematur atau lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Namun utamanya stunting terjadi setelah bayi lahir, karena asupan makan yang kurang baik. Bisa karena ekonomi orangtua yang kurang, bisa karena orangtua tidak tahu cara memberi makan, bisa karena tindakan abusive, atau karena penyakit. “Misalnya makan anak bagus, tapi ia sering demam, sehingga nutrisinya digunakan untuk menyembuhkan penyakit,” ujar Dr. dr. Damayanti dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta, Rabu (18/07/2018).

Baca juga: Terancamnya Masa Depan Anak Gara-gara "Stunting" 

Stunting diawali dengan berat badan (BB) kurang. Bila ini terus dibiarkan, akibatnya terjadi minus energi. Begitu anak sampai kekurangan energi, yang pertama kali dikorbankan adalah otaknya. Selanjutnya, pertumbuhan fisiknya ikut terganggu sehingga anak menjadi pendek. Itu sebabnya, anak yang pendek akibat stunting, kecerdasannya di bawah rerata anak normal.

 

Mengenali stunting

Anak disebut pendek bila Z-skor -2. Ada pendek yang memang karena keturunan dari orangtua, ada yang patologis seperti cebol akibat kelainan genetik, gangguan hormon, atau stunting. Pada stunting, biasanya perawakan tubuh proporsional.

Idealnya, petumbuhan anak berjalan linear. Pertambahan berat badan (BB) diikuti dengan peningkatan tinggi badan (TB). BB dan TB anak harus diukur setiap bulan, lalu dimasukkan ke grafik pertumbuhan. Dengan cara inilah tumbuh kembang anak bisa dinilai, apakah sesuai ataukah kurang.

“Jangan sampai BB anak turun tanpa diketahui tenaga kesehatan,” tegas Dr. dr. Damayanti. Begitu pula bila anak pendek; harus segera dibawa ke dokter. Hanya dokter yang memiliki kompetensi untuk menelaah penyebab pendek dan BB yang turun. “Harus dicari apa penyebabnya dan diatasi,” imbuhnya.

Usia 3 bulan adalah saat yang rentan. Berbagai penelitian menemukan, BB anak mulai turun di usia ini. Penyebabnya bermacam-macam. Misalnya produksi ASI ibu kurang, anak sakit, atau anak alergi susu sapi, dan terpapar alergen tersebut karena ibu mengonsumsi susu sapi atau produk susu sapi. Karenanya bayi harus dibawa ke dokter, untuk diperiksa lebih lanjut.

Bila memang ASI kurang, maka anak harus mendapat susu tambahan, bila usianya <4 bulan. Tambahan hanya boleh berupa susu, karena saluran pencernaan bayi belum bisa menerima makanan. Bila usia bayi >4 bulan, bisa mendapat MPASI (makanan pendamping ASI). “Namun, perlu atau tidaknya tambahan susu atau MPASI, hanya petugas kesehatan yang boleh menentukan. Ibu tidak boleh menentukan sendiri,” pungkas Dr. dr. Damayanti. (nid)